Selasa 05 Nov 2019 16:00 WIB

Mengenal Tiga Tokoh Muslim Berpengaruh di Mali

Tiga tokoh muslim ini berperan penting membentuk kehidupan di Mali.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Muslim Mali
Muslim Mali

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --- Para pemimpin muslim di Mali begitu berperan penting dalam membentuk kehidupan masyarakat muslim Mali saat ini. Kandidat doktoral di Universitas Columbia, Andrew Lebovich dalam makalahnya seperti dilansir ecfr pada Selasa (5/11)  menjelaskan tentang sejarah Islam Mali serta pengaruh tiga orang pemimpin muslim Mali pada kehidupan muslim di negara itu. 

Setidaknya ketiga tokoh tersebut berperan dalam membawa arus utama Islam di Mali. Ketiga tokoh yang dibahas dalam makalahnya yakni mantan Presiden Dewan Tinggi Islam (HCI) Mali, Mahmoud Dicko, Presiden HCI saat ini, Ousmane Madani serta seorang pimpinan cabang tarekat sufi tijaniyyah yaitu Hamallah.

Baca Juga

Masyarakat muslim sudah ada di Afrika Barat sejak abad kesebelas. Di wilayah yang kini menjadi negara Mali, dulunya menjadi pusat sejumlah kerajan Islam termasuk diantaranya kekaisaran Ghana, kekaisaran Songhay serta negara-negara yang berdiri melalui perjuangan para sufi abad ke-19 dan awal abad ke-20. Islam Sunni begitu dominan di kota-kota di tepi gurun Sahara, termasuk juga pusat ibadah dan perbelanjaan yang terkenal seperti Djane, Gao, dan Timbuktu. 

Abad ke-19 para tokoh jihad membawa persaudaraan sufi Tijaniyyah, mengenalkan tradisinya sebagai budaya untuk pembaharuan sekaligus mendorong berdirinya negara-negara yang memerintah berasaskan syariat Islam. Namun karena umat muslim di Mali yang heterogen atau jauh dari seragam, negara-negara jihad disekitarnya bentrok dengan mereka yang berorientasi pada praktik agama yang tradisional.

Pertengahan abad ke 19 kolonialisasi Perancis berlangsung bertahap pada wilayah-wilayah yang saat ini menjadi Mali. Meski para pejabat Perancis mulanya berkerjasama dengan para pemimpin muslim yang ditunjuknya terutama di Senegal, Perancis akhirnya membuat kebijakan membatasi penyebaran Islam.

Pejabat militer Perancis mewaspadai potensi pemberontakan kelompok-kelompok muslim. Banyak pejabat Prancis yang khawatir dengan aktivis muslim selama abad kedua puluh. Namun demikian, pada periode itu popularitas Islam tumbuh pesat di Mali. 

Awal abad kedua puluh pemberontakan Tijaniyyah muncul dari daerah yang meluas hingga Mauritania dan Mali yang dipimpin seorang pria yang dikenal sebagai Syekh Hamallah. Ia menetap di Nioro du Sahel yang kala itu menjadi kota perdagangan. Pejabat Perancis berulangkali mendeportasinya karena diduga menentang otoritas mereka.

Hamallah meninggal di Perancis pada 1943. Salah satu putranya yakni yang dipanggil Syarif Nioro (Cherif of Nioro) saat ini memimpin cabang Tijaniyyah yang didirikan ayahnya setelah membantu memperluas kekuatan pengaruh politik dan ekonomi kelompok itu di Mali.

Sekitar 1930 dan 1940 tumbuh tradisi pemikiran dan praktik keislaman lainnya yakni yang dipengaruhi oleh perkembangan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ini ditandai oleh dorongan kuat untuk mereformasi praktik agama dan pendidikan, menyebarkan pengajaran bahasa Arab, dan mengembalikan praktik Islam pada asalnya sesuai Al Qur'an dan Sunnah.

Berbagai kelompok muslim reformis mengadopsi tradisi ini sejak pertengahan 1940an. Sementara penganut paham lainnya dan juga otoritas Prancis menyebutnya Wahabi mengacu pada praktik keagamaan yang berasal dari Arab Saudi babad kedelapan belas.

Saat yang sama, reformis lain muncul dari persaudaraan sufi Tijaniyyah. Tokohnya yakni Sa'ad Oumar Toure yang mendirikan sekolah Islam modern di kota Segitu pada 1946. Sekolah ini fokus pada pembelajaran bahasa Arab dan agama tanpa mengesampingkan tasawuf sebuah tradisi yang sebagian besar ditolak komunitas salafi. 

Setelah meraih kemerdekaan, Modibo Keita menjadi presiden pertama Mali. Ia sangat mengawasi umat islam, dan memberlakukan larangan resmi terhadap organisasi Islam. Setelah Keita tumbang pada 1968, Jendral Moussa Traore melonggarkan larangan itu sebelum kemudian menekan organisasi seperti itu pada 1970an.

Meski demikian, Traore dikenal dengan memperbanyak sebaran masjid dan aktivitas Islam. Ia juga meluncurkan kampanye moral dengan kebijakan menutup bar dan klub malam selama Ramadhan.

Ia mendirikan organisasi muslim pertama yang didukung negara Mali yakni Assosiasi Malienne  l'Unité et le Progrès de l'Islam (AMUPI), pada  1981. Badan itu dirancang untuk mengelola urusan Islam serta merekonsiliasi faksi-faksi Islam utama di Mali terutama Sufi dan Sunni

Tahun 1954 Mahmoud Dicko lahir di Tonka dekat Timbuktu. Ia putra dan cucu dari tokoh pemimpin muslim tersohor. Kakeknya menjabat  sebagai qadi atau hakim Islam setelah kemerdekaan. Dicko belajar di Mauritania dan Arab Saudi di mana ia semakin mengadopsi praktik Salafi, sebelum kembali ke Mali pada awal 1980an. Dicko masuk dalam jajaran AMUPI dan menjadi dikenal luas setelah 1991. Dia bergabung dengan HCI, penerus AMUPI.

Sementara Haidara menempuh jalan yang berbeda. Lahir pada  1955 di dekat Segou, Haidara belajar di sekolah-sekolah Alquran dan Prancis hingga 1964. Meskipun ayahnya berafiliasi dengan Tijaniyyah, Haidara bukanlah seorang sufi. 

Bahkan jika ia memiliki banyak hal yang sering dikaitkan dengan para pemimpin sufi, seperti karisma yang kuat, sikap kesucian yang telah membantu memicu popularitasnya.

Haidara mulai berkhotbah di Mali pada awal 1980-an, ia kerap bentrok berulang kali dengan pihak berwenang  yang tidak menyukai khutbahnya untuk reformasi politik dan oposisi terhadap pengaruh Sunnite. 

Pada 1991 ia mendirikan Ancar Dine (Pendukung Agama). Ancar Dine sekarang memiliki ratusan ribu anggota di Mali,  Afrika barat, dan bahkan Eropa dan Amerika Serikat. Organisasi ini mengoperasikan sekolah, klinik medis, dan fasilitas lainnya. Haidara menjabat sebagai wakil presiden HCI di bawah Dicko, sebelum menjadi pemimpin pada April 2019. Andrian Saputra

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement