Oleh: Menachem Ali, Dosen Philology Universitas Airlangga
Gurukula merupakan istilah bahasa Sanskrit dalam tradisi Hindu, maknanya sepadan dengan istilah "pesantren" dalam tradisi Islam Asia Tenggara. Istilah "gurukula" merupakan gabungan dari 2 kata, "guru" (lit. "pengajar kitab suci Weda"), dan "kula" (lit. "kediaman"). Jadi istilah "gurukula" bermakna "tempat kediaman/tempat sang guru yang mengajarkan kitab suci Weda kepada para murid-muridnya"). Salah satu kitab suci agama Hindu, yakni kitab Srimad Bhagavatam Purana VII.12.1 tertulis demikian:
Sri Narada uvaca
brahmacari guru-kule vasan danto guror hitam
acaran dasavan nico gurau sudrdha-sauhrdah.
Sri Narada said: "A student should practice completely controlling his senses. He should be submissive and should have an attitude of firm friendship for the spiritual master. With a great vow, the brahmacari - student who learns the Veda - live at the gurukula - house of the spiritual master - only for the benefit of the guru", see A.C. Bhaktivedanta Srila Prabhupada, Srimad Bhagavatam Purana (Mumbai: the Bhaktivedanta Book Trust, 1999), hlm. 681
Istilah "pesantren" juga berasal dari bahasa Tamil, yakni "santri" (lit. "murid yang belajar kitab suci Weda"), sedangkan dalam bahasa Sanskrit disebut "sastri." Sementara itu, kitab suci Weda dalam bahasa Sanskrit disebut "sastra." Apakah sebagai seorang Muslim kita dilarang menggunakan istilah "guru"? Apakah sebagai seorang Muslim kita dilarang menggunakan istilah santri? Apakah sebagai seorang Muslim kita juga dilarang menggunakan istilah sastra? Apakah sebagai seorang Muslim, kita juga dilarang menggunakan istilah bumi "pertiwi"?
Dalam ilmu nahwu lafadz ardhun itu sudah dianggap muannats ( perempuan ) sebgai bukti dhomir ardhun itu ها bukan ه . Misalnya والارض وما طحاها. Secara lafadz Arab saja domir ها tsb menuju kepada ارض. Kenapa tdk pakai ه padahal secara lafadz tidak ad tanda ta' marbutoh menunjukkan perempuan? Jawaban yg saya temukan dlm ilmu nahwu tersebut karena sudah ma'lum dalam konteks Quran sudah dari awal memang begitu. Dari segi arti ارض yang bergenre feminin penggunaannya sepadan dengan kata bumi pertiwi yang bergenre feminin dalam bahasa Sanskrit atau pun Hindi. Bukankah selama ini kita berkata bahwa bumi pertiwi itu sebatas bahasa saja, dan bukan menganggap adanya tuhan selain ALLAH?
Apakah sebagai seorang Muslim kita juga dilarang menggunakan nama "Sri" karena sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri sebagai "dewi padi"? Bila menggunakan nama "Sri" dilarang, maka nama ibukota negara Brunai Darussalam seharusnya diganti, karena itu tanda kesyrikan menyembah Dewi Sri. Bila menggunakan nama "Sri" dilarang, maka semua gelar kehormatan "Dato' Sri" di Malaysia seharusnya dihilangkan.
Begitu juga penggunaan istilah "guru" dalam lembaga pendidikan Islam seharusnya dibuang, karena sebutan "guru" asalnya mengandung makna "pengajar kitab suci Weda." Apakah Anda sepakat membuang semua istilah Sanskrit dalam bahasa kita, termasuk istilah guru, santri, sastra, dewi, Sri, dan pertiwi?