REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bubuk mesiu sebagai senjata digunakan pertama kali di Cina sekitar tahun 1044 dan selama tiga abad kemudian menemukan jalannya ke Eropa dan Timur Tengah. Ada yang memprediksi bubuk mesiu ditemukan di Cina pada masa Dinasti Song tahun 800 M. Saltpeter (sendawa) sebagai bahan inti mesiu pertama kali diekstrak ahli kimia Cina yang ironisnya waktu itu bertujuan untuk mencari obat panjang umur. Saltpeter merupakan garam nitrat (KNO3) sebagai oksidator bagi campuran arang dan belerang.
Sebelum adanya mesiu, bahan peledak lain yang juga berhasil mengubah jalannya pertempuran adalah api Yunani. Senjata itu pertama kali digunakan oleh pasukan Bizantium (Romawi Timur) kala mempertahan kan Konstantinopel dari serangan pasukan Arab.
Menurut ahli kimia Inggris JR Partington dalam buku A History of Greek Fire and Gunpowder, api Yunani awalnya dikenal dengan sebutan api Kallinikos, merujuk pada arsitek Yunani dari Heliopolis di Suriah yang membangun senjata penyembur api pada kapal perang Bizantium.
Api Kallinikos mempunyai ciri khas berbentuk cairan dan bisa terbakar di permukaan laut. Dalam per tem puran laut, senjata ini disem burkan lewat pipa khusus dengan suara gemuruh yang keras dan menimbulkan asap yang sangat banyak.
Menurut salah satu versi sejarah, serangan pertama pasukan Arab di pimpin oleh Yazid Ibn Muawiyah dan Abu Ayub al-Anshari yang berlangsung sekitar tahun 668-669 saat Mua wiyah Ibn Abu Sofyan berkuasa di Jazirah Arab. Serangan itu berhasil dipatahkan Kaisar Konstantinos IV (Pogonatos). Kallinikos sendiri baru datang ke Konstantinopel ekitar tahun 671-673.
Menurut catatan Arab, Dinasti Umayah mencoba serangan kedua pa da tahun 674-680 yang dikenal de ngan perang tujuh tahun. Kokohnya gerbang Konstantinopel membuat pasukan Arab menggunakan serangan laut dengan pangkalan kapal perang di Semenanjung Kyzikos. Konstantinopel dikepung dari darat maupun laut. Pada saat kritis itulah api Yunani digunakan.
Banyak kapal-kapal Arab di Asia Minor yang mencoba mendekati Konstantinopel hangus terbakar oleh api Yunani yang disemburkan dari kapal Bizantium. Diperkirakan sekitar 30 ribu pasukan Arab tewas. Edward Gibbon dalam buku The Rise and Fall of Roman Empire menggambarkan, “Saracen (Arab) tercerai-berai oleh efek yang aneh dan luar biasa dari api buatan itu.”
Kaisar Leo III sebagai penguasa Konstantinopel kembali menggunakan api Yunani untuk mengusir pasukan Arab yang dipimpin Maslama Ibn Abdul Malik dalam serangan berikutnya pada 717-718, ketika Dinasti Umayah dipimpin Sulaiman Ibn Abdul Malik.
Kemudian serangan tahun 782, ketika Dinasti Umayah dipimpin al-Mahdi dengan panglima perang adalah putranya sendiri, Harun. Armada kapal Arab kembali luluh lantak menghadapi api Yunani. Sejarawan Yunani Theophanes me nulis, “Saat itu, pasukan Arab berhasil mencapai wilayah dekat Konstantinopel, tapi sekali lagi berhasil dipukul mundur.”