Selasa 05 Nov 2019 23:48 WIB

Panah Berapi di Masa Pembebasan Pasukan Muslim

Panah berapi pertama kali digunakan pasukan Muslim ketika menginvasi India

Pasukan Muslim dipimpin Salahuddin mengepung Pasukan Salib di Lembah Hittin
Foto: historia
Pasukan Muslim dipimpin Salahuddin mengepung Pasukan Salib di Lembah Hittin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangsa Arab yang pertama kali mendapatkan pengalaman pahit menghadapi api Yunani berusaha menciptakan versi mereka sendiri pada abad ke-7 sampai abad ke-10. Meskipun daya rusaknya lebih kecil dari formula api Yunani asli, cairan api buatan Arab menjadi senjata yang menakutkan bagi pasukan Perang Salib Eropa.

Seperti Bizantium, pasukan Arab juga memasang senjata api cair itu pada kapal dan perbentengan. Inovasi baru dalam penggunaannya pun muncul. Cairan maut itu juga diisikan ke guci untuk dilemparkan dengan tangan. Anak panah dan tombak pun dilumuri cairan api untuk membakar posisi musuh. Penggunaan manjanik membuat api Yunani versi Arab menjadi senjata pembakar benteng.

Baca Juga

Panah berapi pertama kali digunakan pasukan Muslim ketika menginvasi India pada tahun 712. Banyak laporan mengenai penggunaan bahan pembakar oleh pasukan Arab dari tahun 780 sampao 950. Saat terjadi Perang Salib dari tahun 1097 sampai 1291, pasukan Arab menggunakan campuran ter, lilin, nafta, dan belerang. Bom nafta digunakan pada pertempuran Acre tahun 1189-1191 dan tabung berapi yang dilontarkan manjanik pada 1229.

Senjata pelontar api sudah dikenal kaum Muslim sejak masa awal peradaban mereka. Bangsa Arab mengenal manjanik dari zaman Raja Hira di Irak pada abad ke-3 M, kemungkinan besar mencontoh Persia yang mengadopsi dari Yunani. Pada 690 M, Ka'bah yang dijadikan perlindungan Abdullah Ibn Zubair dibombardir batu berapi yang di lon tarkan anak buah Hajjaj Ibn Yusuf.

Namun, seiring perkembangan teknologi, Muslim lebih banyak menggunakan bubuk mesiu dalam serangan artileri ketimbang api Yunani. Penggunaan mesiu di Spanyol oleh pasukan Muslim diperkirakan sejak abad ke-13 yang terekam dalam manuskrip Arab di Perpustakaan Escorial, Spanyol.

Michael Casiri, seorang Kristen Maronit yang menerjemahkan manuskrip yang ditulis oleh Shibah ibn Fadlallah al- Umari (meninggal 1349) itu menyebut mengenai barud dan pulvis nitratus, bahan yang dilontarkan dengan alat bernama kalajengking dan menimbulkan efek ledakan. Barud dalam istilah Persia, Turki, dan Arab, mulanya diterjemahkan sebagai saltpeter, namun kemudian dimengerti sebagai bubuk mesiu. Kata barud dan nafta juga digunakan untuk bubuk mesiu.

Menurut sejarawan Spanyol Zurita (1512-1580), Raja Moor (Arab) di Granada ketika mengepung Alicante tahun 1331 menggunakan senjata baru yang menimbulkan teror luar biasa, mampu melontarkan pecahan besi dengan dentuman api.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement