Rabu 06 Nov 2019 07:06 WIB

Cadar Pasti Radikal? Begini Pengakuan Muslimah Berniqab

Muslimah berniqab kerap mendapatkan stigma miring.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Wanita bercadar.  (ilustrasi)
Foto: AP/Dar Yasin
Wanita bercadar. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tak sedikit Muslimah yang mengenakan niqab atau cadar berusaha meyakinkan lingkungan sosial mereka tentang stigma negatif yang tersemat, yakni radikal. Bercadar bukan berarti menjadi radikal.

Adalah Adela Azhari (27 tahun) misalnya yang teguh mengenakan niqab sejak 2016 lalu. Perempuan yang sedang mengandung ini mengaku kerap kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial saat awal mula mengenakan niqab. Kala itu, tak sedikit bahkan yang mempertanyakan keteguhannya, termasuk dari kalangan orang tua.

Baca Juga

“(Awalnya) banyak ditanya keluarga, mengapa pakai ini (niqab)? Saya jelaskan, bahwa menurut saya niqab ini sunah,” kata Adel saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (5/11).

Keraguan keluarga terhadap keteguhan dan keputusannya mengenakan niqab bukan tanpa alasan. Adel percaya bahwa stigma radikal pada kaum-kaum berniqab masih tersemat kuat kala itu. 

Hal itu memaksa dirinya untuk memilih menerangkan keputusannya dengan cara-cara yang baik kepada keluarga.

Proses adaptasi Adel terkait niqab memang tak mudah, selain dari keluarga, Adel pun mulai merasakan adanya perubahan sikap dan perlakuan dari lingkungan sekitar. 

Rata-rata mereka, kata Adel, mulai menyorotinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Namun seiring berjalannya waktu, perlakuan tersebut mulai memudar. Baik keluarga maupun lingkungan sekitar sudah semakin cair menjalani komunikasi dengannya. “Kalau dulu kan mau menyapa saja sepertinya (mereka) sungkan. Sekarang sudah biasa saja,” ujarnya.

Adel pun menerangkan bahwa tak ada yang berubah dari dirinya sejak sebelum dan sesudah mengenakan niqab dalam menjalankan keseharian. Misalnya sebelum mengandung, Adel tak mengalami kendala berarti saat menjalankan bisnis. 

Memakai niqab justru sangat memudahkan dirinya dalam melakukan aktivitas. Selain, niqab juga membuatnya merasa terlindungi dari perlakuan verbal dari kaum-kaum lawan jenis jika berpapasan di jalan.

Dari pengalaman pribadi serta cerita teman-temannya di satu komunitas Niqab Squad, memakai niqab tak sama sekali menjadi penghalang para perempuan tersebut berprestasi maupun beraktivitas. 

Adel mengaku bahwa teman-teman dalam komunitas tersebut berlatar belakang profesi yang beragam. “Ada yang jadi pengusaha, kerja kantoran, dan jadi guru pun ada. (Niqab) sama sekali enggak ganggu aktivitas,” ungkapnya.

Kendati demikian Adel mengakui bahwa tak sedikit oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan niqab untuk eksistensi radikalisme. Hal itu memicu stigma negatif di kalangan masyarakat yang mengkonotasikan niqab sebagai bagian dari gerakan radikalisme.

Gelombang percaya terhadap konotasi niqab sebagai bagian dari gerakan radikalisme bukan tanpa alasan. Setidaknya dalam beberapa kasus pemboman dan juga aktivitas teror lainnya, perempuan berniqab kerap dilibatkan dalam eksekusi.

Untuk itu menurut Adel, seseorang yang telah memilih jalan untuk mengenakan niqab sebagai bagian dari pada sunnah harus meluruskan kembali niatnya. Dia berpendapat bahwa perempuan yang berniqab sudah sejatinya harus tak radikal.

“Kalau berniqabnya itu pakai hati, mendalami Islam yang rahmatan lil-alamin, dia tak akan radikal,” ungkapnya.  

Pelarangan niqab atau cadar di lingkup aparatur sipil negara (ASN) yang dilontarkan Menteri Agama Fachrul Razi menuai polemik meskipun hal ini belum tentu terealisasi. Selain dianggap telah mencampuri ranah privasi dan keyakinan seseorang, Menag juga dinilai lupa membenahi sektor hulu pengendalian radikalisme, utamanya di lingkup ASN.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement