REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai verifikasi yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atas pengalokasian dana desa lemah. Menurut dia, fenomena desa fiktif muncul karena Kemenkeu tetap melakukan transfer dana desa tanpa memeriksa laporan realisasi penggunaan dana desa.
"Bayangkan transfer duit tapi hitungannya bagaimana enggak tahu, ternyata desanya desa bodong, desa hantu, atau apapun namanya. Ini berarti soal verifikasi kita lemah sekali," ujar Robert saat dihubungi, Rabu (6/11).
Pedoman pelaksanaan dana desa itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Bersumber dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Dalam peraturan tersebut terdapat Bab mengenai pelaporan.
Pasal 24 ayat 1 menyebutkan, kepala desa menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana desa kepada bupati atau wali kota setiap semester. Robert mengatakan, laporan realisasi itulah yang menjadi dasar Kemenkeu melakukan transfer dana desa.
Kemudian pada Pasal 24 ayat 3, bupati/wali kota menyampaikan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan dana desa kepada Menteri Keuangan dengan tembusan menteri yang menangani desa, menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait, dan gubernur paling lambat pekan keempat bulan Maret tahun anggaran berikutnya. Penyampaian laporan konsolidasi dilakukan setiap tahun.
PP itu juga menjelaskan, jika kepala desa terlambat menyampaikan laporan, bupati/wali kota dapat menunda penyaluran dana desa. Hal itu berlaku bagi bupati/wali kota yang tidak atau terlambat menyampaikan laporan realisasi dan konsolidasi, maka Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran dana desa sampai diterima laporan.
Robert menuturkan, jika Kemenkeu selama ini menyalurkan dana desa melalui kabupaten/kota, berarti laporan realisasi memang sudah diterima. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dana desa itu dialokasikan kepada desa yang kemudian disebut Menkeu sebagai desa fiktif karena tidak ada penduduknya.
Dana desa disalurkan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD). Kemudian dana desa disalurkan ke desa melalui pemerintah kabupaten/kota dengan cara pemindahbukuan dari RKUD ke rekening kas desa.
Menurut Robert, selain pemerintah pusat harus melakukan verifikasi ke desa yang bersangkutan, pemerintah juga perlu mengecek pemerintah kabupaten/kota yang menjadi perantara penyaluran dana desa. Upaya ini dilakukan untuk memastikan dana desa disalurkan tepat sasaran.
"Berarti si pemerintah antara atau si perantara yaitu si kabupaten/kota ini yang perlu dicek. Kenapa selama ini muncul desa-desa siluman atau desa-desa hantu seperti ini. Sementara tiap tahun kita transfer dan tiap tahun mungkin juga mereka terus mengirimkan laporan setahun bisa dua kali," jelas Robert.
Ia juga meminta pemerintah pusat mengevaluasi pengalokasian, penyaluran, hingga penggunaan dana desa sesuai amanat peraturan pemerintah tersebut. Kemenkeu juga seharusnya berkoordinasi secara intensif dengan kementerian terkait seperti Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri.
"Bagaimana ini koordinasi di pemerintah pusat, ini berarti dari kabupaten/kota langsung ke Kementerian Keuangan dipakai tanpa ada koordinasi kiri kanan dengan dua kementerian yang lain, Kemendes PDTT dan Kemendagri," imbuh dia.