Australia sudah lama melarang penggunaan bahan bangunan asbes yang telah terbukti mematikan. Tapi di Indonesia, hal itu masih terus berlangsung dalam skala besar seakan tidak menyadari bahaya yang bisa ditimbulkannya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya telah memperingatkan epidemi penyakit-penyakit terkait asbes di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Tapi sejalan dengan semakin banyaknya negara yang melarang asbes, kelompok lobi industri ini justru semakin meningkatkan promosi penggunaan asbes di Indonesia dan Asia Tenggara.
Kelompok lobi bernama Chrysotile Information Centre (CIC) dan berbasis di Bangkok itu mengklaim bahwa chrysotile - umumnya dikenal sebagai asbes putih - larut di paru-paru setelah 14 hari. Menurut mereka, hal itu tak berbahaya.
Penggunaan asbes di Indonesia terbilang sangat masif. Diperkirakan sekitar 10 persen rumah menggunkan asbes putih untuk atap.
Padahal, asbes putih ini merupakan karsinogen yang dapat menyebabkan berbagai kanker termasuk mesothelioma dan penyakit lainnya. Apalagi, Indonesia rawan gempa dan bencana sehingga bangunan dan rumah yang menggunakan asbes dapat dengan mudah menjadi puing-puing.
Indonesia umumnya memperlakukan asbes ini seperti tembakau: dapat menyebabkan kanker tetapi tidak dilarang.
Bedanya, orang merokok adalah pilihan pribadi. Tapi ribuan orang termasuk pekerja di 27 pabrik asbes di Indonesia, tidak menyadari bahaya bahan bangunan ini.
Salah satu korban asbes bernama Sriyono, 46 tahun, kini menjadi gambaran dari ledakan korban asbes.
Dedikasinya bekerja selama 25 tahun di pabrik itu, bukannya menghasilkan kesejehteraan bagi dia, istri dan tiga anaknya.
Sriyono kini malah menderita kanker paru-paru stadium akhir. Dia tak bisa lagi bekerja karena penyakitnya itu.
Penyakit kankernya telah menggerogoti berat badan dan kekuatan tubuhnya. Beratnya kini hanya 37 kilogram, kurus, tinggal tulang-belulang.
"Dadaku terasa sangat sesak. Saya tak bisa bernapas dengan baik. Ketika saya mencoba melakukan sesuatu, saya gampang lelah," katanya.
Sriyono adalah satu-satunya orang Indonesia yang menerima kompensasi untuk penyakit yang berhubungan dengan asbes.
Tetapi baginya, gantirugi sekitar Rp 70 juta rupiah itu bukannya menghibur. "Saya begitu sangat marah," ujarnya kepada ABC.
"Sampai berhenti kerja, perusahaan tidak peduli. Mereka tak menunjukkan belas kasihan, tidak ada perhatian. Tak ada peralatan keselamatan kerja. Tidak memenuhi standar," tambah Sriyono.
Bahaya mengintai
Tak jauh dari tempat tinggal Sriyono di pinggiran Jakarta, tampak betapa penggunaan asbes begitu massifnya.
Di setiap jalan, tampak rumah-rumah dengan atap berbahan asbes putih.
Di pekarangan salah satu rumah, potongan asbes itu bahkan tergeletak di dekat sumur. Ada anak-anak bermain di situ.
Di rumah lain yang atapnya rendah, tampak warga menjemur pakaian di atap asbes tersebut. Di sana-sini serpihan asbes dibiarkan berserakan begitu saja di tanah.
Situasi ini tak mengherankan. Pasalnya, Indonesia adalah importir asbes terbesar kedua di dunia setelah India.
Menurut data, sekitar 115.000 ton chrysotile digunakan setiap tahun, kebanyakan untuk memproduksi atap karena tahan api dan kuat.
Sejauh ini, hambatan terbesar untuk pelarangan asbes di Indonesia adalah kuatnya lobi industri ini. Mereka aktif mendorong untuk memperluas pasarnya di sini.
Lebih dari 75 persen dari total penggunaan asbes di dunia sekarang di berada Asia.
CIC yang berbasis di Bangkok, sebenarnya mewakili produsen asbes di dua negara pengekspor, Rusia dan Kazakhstan.
Selain bertekad melawan segala upaya untuk melarang chrysotile di Indonesia dan Asia, CIC juga aktif mempromosikan asbes putih sebagai "produk yang aman".
CIC berdalih, proses pembuatan adalah satu-satunya risiko potensial. Risiko ini, katanya, dapat "dikendalikan" melalui teknologi yang tepat.
Dalam video di YouTube, CIC mengklaim chrysotile itu tidak seperti asbes coklat dan biru. Asbes putih, katanya, "larut" di paru-paru dalam tempo dua minggu.
"Jika masuk ke dalam tubuh, ia akan larut dengan sendirinya dalam waktu dua minggu. Itu tidak akan membahayakan kesehatan manusia," demikian klaim CIC.
Mereka menyatakan asbes putih sebagai "serat komersial paling aman."
"Penggunaan asbes chrysotile yang terkontrol dan produk-produknya aman bagi pekerja dan konsumen. Mereka yang menentang chrysotile tidak memiliki argumen meyakinkan untuk mendukung pelarangan mineral ini," kata CIC.
Namun penelitian medis telah lama membuktikan bahwa chrysotile dapat menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan paparan asbes.
ABC News menghubungi pihak CIC untuk memberikan komentar, tapi belum mendapatkan tanggapan.
Ledakan penyakit
Berbagai penelitian internasional menunjukkan bahwa dalam setiap 20 ton asbes yang digunakan, ada satu orang yang akan mati.
Dengan tolok ukur seperti, diperkirakan hampir 6.000 orang Indonesia setahun kini berpotensi mengidap kanker yang berhubungan dengan asbes.
Tapi informasi dan pendidikan publik mengenai hal ini masih sangat minim.
Kini, sejumlah LSM lokal bekerja sama dengan LSM dari negara lain giat berkampanye mengenai bahaya asbes bagi kesehatan.
LSM dari Australia ACTU dan APHEDA-Union Aid Abroad, ikut terlibat dalam kegiatan ini.
Mereka melobi Pemerintah RI untuk melarang impor dan penggunaan asbes.
"Indonesia berpotensi besar mengalami ledakan jumlah orang yang terpapar asbes atau penyakit terkait asbes," ujar Muhammad Darisman dari Indonesia Ban Asbestos Network.
"Sembilan puluh persen daerahnya rawan bencana. Asbes adalah zat berbahaya ketika hancur jadi puing-puing," jelasnya.
Pemerintah RI menyatakan telah mengetahui potensi bahaya dari asbes tapi hal ini adalah urusan industri sendiri yang perlu diyakinkan untuk berhenti menggunakannya.
Salah satu tantangan beasr di Indonesia adalah kurangnya alat diagnostik untuk menentukan seberapa banyak orang yang menderita penyakit akibat terpapar asbes.
Saat ini, asbestosis dan penebalan lapisan paru-paru bisa diketahui melalui CT scan.
Tapi sebagian besar kanker yang disebabkan oleh asbes hanya dapat diketahui dengan bukti nyata dari paparan asbes di jaringan paru-paru. Atau bisa juga melalui riwayat kerja seseorang.
"Kami tidak punya peralatan untuk membuat diagnosis dan dokter di sini tak dilatih untuk mendiagnosis mesothelioma," jelas Dokter Anna Suraya dari Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki).
Sejauh ini baru enam orang Indonesia, termasuk Sriyono, yang dipastikan memiliki penyakit kanker yang terkait dengan asbes.
Upaya melarang asbes
Saat ini 66 negara termasuk Australia telah melarang penggunaan semua bentuk asbes.
Kanada, yang pernah menjadi eksportir utama bahan bangunan ini, juga telah melarang tahun lalu. Bahkan Vietnam dan Laos pun kini berupaya untuk melarang asbes.
Serikat-sekitar buruh di berbagai negara terus berupaya memasukkan asbes putih dalam daftar Konvensi Rotterdam PBB, yang mengatur ekspor-impor bahan kimia berbahaya dan pestisida.
Hal itu akan memaksa Rusia dan negara eksportir lainnya untuk memperingatkan bahaya asbes kepada negara importir seperti Indonesia jika mereka membeli produk ini.
Panel ilmiah Konvensi Rotterdam sendiri merekomendasikan agar asbes putih dimasukkan dalam rdaftar karena sifat karsinogeniknya.
Tapi Rusia dan sekutunya termasuk Kazakhstan, India, Suriah dan Kuba, menggunakan veto untuk memblokir mosi tersebut sejak Konvensi Rotterdam berlaku pada 2004.
Kelompok lobi CIC sendiri berdalih bahwa asbes putih ini aman, karena tidak terdaftar dalam Kovensi Rotterdam.
Menurut Phillip Hazelton dari APHEDA-Union Aid Abroad, CIC sengaja memanipulasi informasi tersebut.
"Konvensi Rotterdam dibajak sebagai alat promosi chrysotile-asbes," katanya. "Menjadikan zat yang sangat berbahaya ini tampak aman."
Semakin memburuk
Asbes berbahaya bagi manusia justru karena digunakan dalam konstruksi bangunan: seratnya tidak terbakar atau terpecah.
Serat ini bisa tersangkut di paru-paru manusia, dan menyebar ke organ lainnya.
Kebijakan WHO tentang asbes sangat tegas: "Semua bentuk asbes, termasuk chrysotile, bersifat karsinogenik bagi manusia, menyebabkan mesothelioma dan kanker paru-paru, laring dan ovarium."
Penelitian terbaru dari Global Burden of Disease menunjukkan bahwa asbes menyebabkan kematian lebih dari 220.000 orang di dunia setiap tahun.
"Bahkan di negara yang ketat aturannya, bahan bangunan yang mengandung chrysotil melepaskan serat asbes saat dilakukan pemeliharaan gedung, pembongkaran, dan akibat bencana alam," kata WHO.
Sementara itu Sriyono mengaku, dia tidak tahu sampai kapan bisa bertahan akibat penyakit kankernya.
Tapi dia tahu pasti penyakit ini akan menyebabkan kematiannya.
Bertolak belakang dengan klaim CIC, paru-paru Sriyono tidak bisa lagi melarutkan serat chrysotile di tubuhnya.
"Dokter menyampaikan bahwa saya memiliki jenis kanker yang semakin memburuk dari waktu ke waktu," kata Sriyono.
"Tahun lalu saya melakukan pemeriksaan kesehatan dan hasil CT scan menunjukkan ada peningkatan aktivitas di paru-paruku," ujarnya.
Diperkirakan puluhan ribu orang Indonesia akan terserang penyakit yang berhubungan dengan asbes.
Tapi berbeda dengan Sriyono, mungkin kebanyakan di antaranya tak pernah tahu penyakit mereka itu disebabkan oleh asbes.
Simak berita ini dalam Bahasa Inggris di sini.