Jumat 08 Nov 2019 01:44 WIB

Kemendagri Buka Kemungkinan Kepala Daerah Dipilih DPRD

Ada daerah tertentu yang dipandang lebih baik lewat metode dipilih DPRD.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Indira Rezkisari
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membuka gagasan jika pemilihan kepala daerah di daerah tertentu akan dikembalikan kepada DPRD. Hal ini menyusul pernyataan Mendagri Tito Karnavian bahwa pilkada langsung lebih banyak mudharat ketimbang hal positif.

"Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta, Jakarta kan sudah maju tidak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja. Atau di daerah-daerah kepulauan yang kalau dengan pilkada langsung cost-nya tinggi sekali. Bisa tidak pakai DPRD? Bisa saja. Kenapa tidak. Sampai mereka siap," ujar Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (7/11).

Baca Juga

Ia menegaskan, pemilu serentak hanya ditafsirkan sebagai pelaksanaan pemilu yang dilakukan bersamaan, bukan sistemnya. Sehingga, sistem pilkada langsung maupun tidak langsung dengan dipilih DPRD kemungkinan dapat diterapkan.

Menurut Akmal, Mendagri Tito menginginkan ada sistem pilkada yang asimetris. Dengan regulasi asimetris itu artinya kebijakan yang diberlakukan tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain.

"Kenapa? Kualitas demokrasi antara satu daerah dengan daerah yang lain kan berbeda-beda," kata dia.

Ia mengatakan, kebijakan asimetris ini menjadi salah satu solusi untuk mengurangi biaya politik pada saat pilkada. Sebab, Kemendagri telah melakukan evaluasi seorang calon kepala daerah setidaknya harus mengalokasikan dana sekitar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar, bahkan ada yang lebih dari itu.

"Itu kenapa Pak Menteri mengatakan mudharatnya itu kalau pilkada berbiaya tinggi banyak mudharatnya. Bukan kita mengatakan pilkada langsungnya yang salah. Tetapi ada sistem yang membutuhkan biaya tinggi," jelas Akmal.

Namun, ia memastikan, untuk pelaksanaan Pilkada 2020 tetap merujuk kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (UU Pilkada). Revisi UU Pilkada masih dalam tahap pembicaraan.

Sebelumnya, Tito mengaku tidak heran ketika ada kepala daerah yang tertangkap karena terbukti korupsi. Hal itu diungkapkan pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR.

"Bayangin dia mau jadi kepala daerah mau jadi bupati itu Rp 30 M, Rp 50 M. Gaji Rp 100 juta, taruhlah Rp 200 juta kali 12 (bulan) itu Rp 2,4 (miliar) kali lima tahun itu Rp 12 M, yang keluar Rp 30 M, mau rugi tidak? Apa benar saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa terus rugi? Saya tidak percaya," kata Tito.

Ia dan jajaran di Kemendagri akan melakukan riset akademik terkait dampak negatif dan positif pilkada langsung. "Kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya?" tutur dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement