REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Kebiasaan membangun kincir air saat kemarau ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun warga sejak 1960 silam. Odo menjelaskan, terdapat sedikitnya 10 hektare sawah di sana. Sedangkan satu kincir air bisa mengairi sekitar setengah hektare lahan sawah. Sejauh ini para petani di sana sudah membangun tiga unit kincir air yang rata-rata berdiameter 5-5,5 meter.
"Kalau biaya sekitar Rp1 juta untuk membuat satu kincir. Tapi kan bahan utama yakni bambu di sini melimpah kemudian dikerjakan juga secara bergotong royong," jelas Odo. Biaya tersebut lanjutnya, lebih hemat dibandingkan dengan cara menyedot air menggunakan mesin.
"Kalau pakai mesin harus menambah biaya bahan bakar dan operasionalnya. Kalau ini, sekali bikin (bisa) selama 24 jam beroperasi," tandasnya.
Untuk membuat satu unit kincir air berukuran jumbo itu para petani membutuhkan waktu selama dua hari dikerjakan sekitar 15 orang. Di sisi lain, kincir air yang dibuat juga bisa bertahan sepanjang musim kemarau dengan perawatan yang mudah.
"Perawatannya paling cuma ngecek tiap hari. Memastikan tidak ada sampah yang nyangkut dan mengganggu laju kincir," jelasnya.
Para petani biasanya membuat kincir air hingga 11 unit untuk mengairi puluhan hektare lahan persawahan. Berkat kebiasaan membuat kincir air ini, sejumlah petani di desa tersebut tetap bisa bercocok tanam meski dilanda kemarau panjang.
"Setahun tetap bisa panen 3 kali, kan kalaupun kemarau panjang air Citanduy tidak sampai kering, tetap mengalir, jadi tidak ada puso atau gagal panen, makanya kincir tetap dibuat" tambah Odo.