REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, yang tidak beratap menuai kontroversi. Koalisi Pejalan Kaki mengimbau agar JPO tersebut sebaiknya dirobohkan saja dan diganti dengan zebra cross yang lebih bermanfaat bagi semua orang.
"Pejalan kaki kan bukan hanya kita yang sehat, tapi ada juga yang berkebutuhan, seperti lansia, penyandang disabilitas, lalu anak-anak yang ototnya baru tumbuh. Nah, itu yang harusnya dipikirkan," kata Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, Kamis (7/11).
Alfred mengatakan, pihaknya telah mengajukan rekomendasi bahwa JPO Sudirman lebih baik ditiadakan. Namun, pada Selasa (5/11) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memilih membuka atap JPO karena akan menatanya menjadi Instagramable.
Alfred menilai, alasan meruntuhkan JPO Sudirman dan mengubahnya menjadi zebra cross atau pelican cross lebih bermanfaat dibanding menyulapnya menjadi spot foto. Hal itu karena alasan pembangunan JPO Sudirman di masa lalu untuk menyediakan sarana bagi pejalan kaki agar tidak mengganggu jalur kendaraan pribadi.
"Kan saat ini Jakarta sedang menuju ramah pejalan kaki dan pesepeda, sebenarnya itu akan bias ketika JPO itu masih ada di dalam kota. Karena memang salah satu wujud JPO kan membuat para pengendara nyaman tanpa terganggu pejalan kaki," kata Alfred.
Koalisi Pejalan Kaki berharap, saran JPO Sudirman diubah menjadi zebra cross atau pelican cross tetap dipertimbangkan. Sehingga, nantinya lebih ramah bagi semua pejalan kaki.
Pengamat tata kota dari Univeristas Trisakti, Nirwono Joga, juga menyarankan Dinas Bina Marga DKI Jakarta untuk menggunakan anggaran mempercantik JPO Sudirman untuk memperbaiki JPO lainnya yang sudah tidak kokoh.
Selain itu, alasan Pemprov DKI merevitalisasi JPO Sudirman dinilai tidak logis oleh Nirwono karena tidak memperhitungkan faktor perubahan cuaca. Menurut Nirwono, fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto. Fungsi utama JPO adalah untuk menyeberang bukan berswafoto.
"Sebaiknya, JPO itu ada atapnya untuk menyesuaikan musim dan cuaca di Jakarta, sebentar lagi sudah masuk musim hujan, apa akan ada yang mau menyeberang dengan JPO terbuka tersebut?" kata Nirwono.
Nirwono menjelaskan, standar JPO sendiri memiliki konstruksi yang kokoh aman, ramah buat pejalan kaki, termasuk anak-anak, ibu hamil, lansia, dan difabel serta terhubung baik dengan trotoar.
Ia menambahkan, terbuka atau tertutupnya atap JPO untuk Jakarta yang panas dan tropis tentu dibutuhkan atap sebagai peneduh JPO, tidak bisa terbuka semua, tetapi sedikit terbuka masih tidak apa yang utama penyeberang tidak kepanasan atau kehujanan saat melintas.
"Sebentar lagi, sudah memasuki musim hujan, apa akan ada yang mau menyeberang dengan JPO terbuka tersebut, sementara di musim kemarau juga akan kepanasan. Sangat tidak logis. Pejabat terlihat sangat jarang menggunakan dan menyeberang melintasi JPO, sehingga tidak merasakan panasnya atau kehujanan di JPO,” ujar dia.
Nirwono mengapresiasi upaya pemerintah untuk mempercantik JPO, khususnya di Sudirman. Namun, sebaiknya Dinas Bina Marga menyampaikan berapa jumlah JPO di Jakarta dan bagaimana kondisinya.
Tanda merah untuk kategori rusak, hampir roboh, mendesak diperbaiki, dan tanda kuning untuk kategori cukup baik, masih bisa dipakai, segera diperbaiki. Sementara, tanda hijau berarti aman, layak pakai, sebagai contoh yang baik.
Ia juga menambahkan, dengan keterbatasan anggaran daripada merevitalisasi JPO yang masih baik, aman, layak pakai (beautifikasi/pencitraan), lebih baik diutamakan dana anggaran yang terbatas tersebut digunakan untuk memperbaiki JPO yang masuk kategori merah lebih dulu, demi keselamatan pejalan kaki.
Sementara itu, Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta menyebutkan pencabutan atap JPO karena alasan estetika. Karena selain untuk menyeberang, ia ingin masyarakat melihat pemandangannya.
“Trotoar sudah bagus, terus gedung-gedungnya maupun yang lain jadi orang menyeberang sambil melihat keindahan Kota Jakarta," kata Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho.
Setelah JPO yang menghubungkan trotoar antara trotoar Indofood Tower dan Astra Tower dibuka atapnya, Hari menyebut, akan juga melakukan pembukaan atap di JPO yang menghubungkan trotoar Hotel Le Meridien dan kawasan Karet. Dengan alasan selain estetika, juga karena struktur bangunan yang goyang dan akan diperlebar dari dua meter menjadi lima meter.
Sebelumnya, Anies memerintahkan pencopotan atap JPO di antara Indofood Tower dan Menara Astra itu dalam rapat pimpinan (rapim) penataan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar Thamrin-Sudirman dan pusat kuliner Thamrin 10 pada 23 Oktober 2019 lalu. Video rapim itu diunggah ke akun Youtube Pemprov DKI Jakarta pada 30 Oktober 2019.
Anies memerintahkan atap JPO dicopot karena JPO itu hanya menghubungkan antartrotoar yang merupakan tempat terbuka atau tidak menyambungkan halte Transjakarta. Dengan dicopotnya atap jembatan, kata Anies, JPO Sudirman akan menjadi lokasi yang bagus untuk berfoto.
"Apa yang terjadi nanti kalau dibuka? Itu tempat selfie paling sering nanti karena pemandangan gedung di malam hari bagus sekali, sore, siang. Jadi, atapnya copot, itu langsung jadi ruang terbuka," kata dia.
Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta menganggarkan program pembangunan, pemeliharaan, dan perencanaan JPO di Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 39,243 miliar dengan rincian anggaran pembangunan sebanyak Rp 31,242 miliar, anggaran pemeliharaan sebanyak Rp 6 miliar, serta anggaran perencanaan sebanyak Rp 2 miliar.
Adapun serapan anggaran untuk pembangunan JPO hingga 6 November 2019, menurut laman publik Bappeda DKI Jakarta, adalah pembangunan sebesar 3,5 persen, pemeliharaan JPO sebanyak 20,50 persen, sedangkan perencanaan JPO sebanyak 15 persen.