REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan terjadinya perubahan struktur investasi yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Heri menilai kondisi ini perlu diwaspadai pemerintah agar ekonomi Indonesia tidak menuju kemerosotan lebih dalam.
Heri menyebut, jumlah investasi di Indonesia memang bertumbuh. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja.
"Investasi tumbuh bagus tapi kemampuan menyerap tenaga kerja malah makin rendah," ujar Heri dalam konferensi pers bertajuk "Antisipasi Risiko Resesi: Kinerja Ekonomi Triwulan III 2019" di Restoran Rantang Ibu, ITS Office Tower, Pejaten Timur, Jakarta, Kamis (7/11).
Heri mengambil contoh investasi yang masuk pada kuartal III 2018 sebesar Rp 176 triliun dan menyerap sekira 289 ribu tenaga kerja. Sementara pada kuartal III 2019, investasi yang masuk meningkat hingga Rp 205 triliun, namun porsi serapan tenaga kerja hanya sekira 212 orang.
"Indonesia termasuk kategori boros modal, investasi banyak masuk tapi nggak nendang pada pertumbuhan ekonomi," ucap Heri.
Heri menilai, hal ini disebabkan investasi yang masuk kebanyakan berasal dari sektor industri jasa yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap serapan tenaga kerja.
"Investasi kita besar tapi belum mampu menciptakan dampak signifikan bagi ekonomi nasional, besar saja tidak cukup, tapi harus yang tumbuh dan tepat sasaran," kata Heri.
Heri mengatakan Indonesia memang membutuhkan masuknya investasi yang diharapkan bisa memberikan dampak bagi serapan tenaga kerja hingga meningkatkan konsumsi.
"Tapi kenapa investasi semakin kedap (serapan tenaga kerja), ya pantas karena banyaknya investasi jasa," ucapnya.
Heri menilai pola investasi yang sejak 2013 didominasi sektor manufaktur kini beralih pada sektor tersier seperti jasa yang dinilai tidak memerlukan banyak tenaga kerja.
"Ekonomi kita pengaruhnya besar dari sektor industri manufaktur. Kalau ekonomi mau tumbuh lebih besar maka tumbuhkan saja Industri (manufaktur) itu sudah terbukti," kata Heri.
Heri menyampaikan model investasi berbasis platform digital berpotensi menimbulkan ketimpangan baru.