Mariati Platt-Hepworth menikah dengan warganegara Australia di tahun 2012. Meski sudah beberapa kali mendatangkan anak dan adiknya dari Indonesia ke Australia dengan visa turis, tahun ini ia mengalami hal yang berbeda.
"Saya menikah resmi dengan warganegara Australia kurang lebih tujuh tahun. Saat ini sedang mengurus visa turis anak kandung saya dari suami terdahulu," tulis Mariati di akun Facebooknya, 6 November 2019.
Ia mengatakan di waktu-waktu sebelumnya sudah beberapa kali mengirim aplikasi visa turis melalui agen migrasi di Padang dan selalu lolos. "Anak saya pertama dulu pergi, dalam waktu tiga bulan gol. Adik saya juga pergi, tiga bulan gol."
Menurutnya, visa tersebut mudah diperoleh karena status suaminya sebagai warganegara Australia. Namun, kali ini, reaksi Departemen Imigrasi Australia justru berbeda.
"Semua syarat [visa] telah terpenuhi, namun tadi pagi saya mendapat kabar dari kedutaan Australia bahwa mereka juga meminta fotokopi rekening pribadi saya dan tambahan surat sponsor yang dari saya."
Mariati mengatakan bahwa kebingungan yang ia alami juga dirasakan oleh suaminya serta agen imigrasi di Padang yang mengirim aplikasi tersebut. "Agen migrasi [yang membantu mengurus] bingung. Mereka hanya bilang, 'Ya, tergantung petugas. Mereka memutuskan itu suka-suka hati'," kata dosen di Universitas Bung Hatta, Padang itu.
Saat ini, Mariati sudah mengirim berkas yang diminta oleh kantor imigrasi Australia dan berharap untuk segera mendapatkan visa anaknya. "Saya sudah kasih rekening saya. Masalahnya kasihan saya melihat suami saya tinggal sendiri. Karena sempat kebakaran hutan juga di sana."
Menurutnya, penyalahgunaan visa oleh warga Indonesia di Australia turut menjadi faktor di balik kesulitan pengurusan visa anaknya. "Nah, rasa-rasa saya iya. Istilahnya gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga," kata perempuan berusia 55 tahun tersebut kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Orang suka berbuat yang tidak benar, jadi orang yang benar kena imbasnya."
"Tidak mau, tapi bagaimana?"
ABC Indonesia berbicara dengan beberapa orang asal Indonesia yang sekarang memegang visa bridging di Australia. Kami bertanya mengenai apakah alasan mereka datang dan mendapatkan visa bridging tersebut adalah tindakan legal?
"Tidak legal dilegalkan saja, lah sampai waktu Tuhan kasih," kata Lola (nama samaran) yang saat ini memegang bridging visa E.
Meski sadar tidak boleh bekerja, Lola yang saat ini sedang menunggu surat izin kerja di Australia diterima merasa tetap harus mencari nafkah. "Kita tidak mau tapi bagaimana? Imigrasi belum kasih [izin kerja]."
Bridging visa E merupakan visa sementara bagi orang yang pernah menetap melebihi waktu di Australia dan sedang mengirim aplikasi visa yang baru, menurut agen migrasi Indah Melindasari yang berkantor d Perth.
Lola mengatakan dirinya memutuskan pergi ke Australia enam tahun lalu karena ditipu oleh agen migrasi di Indonesia saat mengurus visa untuk ke Amerika Serikat. Ia mengatakan bermaksud bekerja di Australia untuk mendapatkan kembali uang tersebut kepada orangtuanya.
Yuni (nama samaran) dan suaminya, yang mendapat bridging visa A di mana ada izin kerja, datang ke Australia dengan tujuan yang sama yaitu melunasi utang. "[Kami] memanfaatkan bridging yang masih aktif untuk lebih mudah cari uang."
Meski sudah memenuhi tujuan kedatangan mereka, pasangan tersebut berniat menetap di Australia karena kemudahan bernafkah yang ditawarkan di samping hal-hal lain.
"[Di Australia] orangnya saling menghargai dan lingkungannya bersih. Lebih mudah cari uang juga," kata Yuni. "Dan kalau dirasa, memang lebih enak tinggal di sini. Maka ada rencana bawa anak ke sini."
Lola mengatakan bahwa kebanyakan imigran datang ke Australia karena memiliki masalah keuangan di negara asal.
"Kita [imigran] itu susah, loh. Mereka yang ke sini kebanyakan mau cari uang saja karena punya berbagai macam masalah [di Indonesia]."
Urus visa supaya tenang
Agen migrasi Indah Melindasari mengatakan bahwa bridging visa bukan adalah 'jalan pintas' untuk mendapatkan visa Warga Tetap.
"Opini saya, bridging visa bukan alat untuk mendapatkan visa Warga Tetap," kata agen migrasi yang sudah berkarir 10 tahun itu.
"Namun, [bridging visa] hanyalah alat untuk tetap berstatus legal ketika menunggu keputusan visa [utama atau substantif] yang tengah diajukan oleh orang bersangkutan."
Pernyataan tersebut relevan dengan pengalaman Bambang (nama samaran), pemegang visa bridging C yang sedang menunggu penerimaan Visa Perlindungan.
"Sebenarnya dulu tidak ada rencana tinggal di sini [Australia], hanya mau cari ilmu saja sambil kerja," kata Bambang yang tiba di Australia tahun 2012 dengan Visa Turis.
"Tapi waktu itu sempat heboh dengan ada pengecekan dari imigrasi. Teman saya bilang, 'Sudah, urus saja visa supaya lebih tenang.'"
Bambang mengurus aplikasi Visa Perlindungannya dibantu oleh temannya yang tidak meminta imbalan hingga akhirnya mendapatkan bridging visa.
Dengan izin tinggal sah tersebut, Bambang yang tidak memiliki izin kerja masih bekerja walaupun tidak dapat mengklaim pajak.
"Batas berlaku visa bridging saya tidak terbatas, tapi syaratnya tidak boleh kerja," kata Bambang yang kini berusia 62 tahun.
"Saya tidak punya TFN [atau nomor klaim pajak] jadi [pemerintah] tidak bisa periksa."
Pelanggaran memperkecil kesempatan
Sebanyak 229.000 orang diketahui memegang bridging visa menurut sensus yang dilakukan Departemen Imigrasi Australia di bulan Maret 2019.
Menurut data tersebut, angka pemegang bridging visa terus membengkak dari tahun ke tahun karena semakin lamanya pemrosesan dokumen aplikasi visa utama.
Agen migrasi Lily Susanti di Melbourne, Australia mengatakan saat ini waktu pemrosesan visa yang dilakukan kantor imigrasi memang memakan waktu yang lama.
"[Pengaplikasian] visa Warga Tetap yang biasanya satu bulan bisa jadi 12 bulan dan Visa Keluarga empat atau lima tahun."
Lily mengatakan banyak orang, termasuk orang Indonesia, hanya tahu bahwa dengan bridging visa mereka dapat bekerja.
"[Padahal] mungkin sebenarnya mereka belum tentu memenuhi syarat untuk visa [utama] yang sedang mereka tunggu penerimaannya itu."
Menurut Indah, orang yang berencana untuk mengirim aplikasi visa harus mempersiapkan dengan matang agar tidak terjadi penolakan visa.
Ini karena menurutnya penolakan tersebut bisa berdampak pada proses pengurusan visa orang lain dari negara bersangkutan.
"Hubungan antar negara tentunya akan berpengaruh terhadap semua aspek diplomatiknya. Termasuk juga dalam pengurusan visa," kata Indah kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Apabila kondisi negara itu sedang tidak stabil atau banyak warganegara tersebut yang melakukan pelanggaran di negara lain, hal ini akan memberikan dampak khusus termasuk dalam pengurusan visa."
Hal ini menurutnya penting untuk diingat mengetahui Indonesia masih termasuk dalam kategori "high risk country".
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.