Jumat 08 Nov 2019 15:50 WIB

Isu Ahok Jadi Dewas KPK, ICW: Tak Ubah Keadaan

ICW menilai KPK telah 'mati suri' per tanggal 17 Oktober 2019.

Rep: Febryan. A/ Red: Teguh Firmansyah
Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Coruption Watch (ICW) berpendapat, siapa pun yang menjadi anggota Dewan Pengawas KPK tidak akan mengubah keadaan. Apakah itu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atau Antasari Azhar. Lembaga antirasuah itu kini sudah mati suri.

"Siapa pun yang dipilih oleh Presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tidak akan mengubah keadaan karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kemarin (waktu berlakunya UU KPK baru) kelembagaan KPK sudah 'mati suri'," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Republika.co.id, Jumat (8/11).

Baca Juga

Ahok dan Antasari Azhar santer dikabarkan akan dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Namun, peluang keduanya untuk jadi Dewas terganjal Pasal 37 dalam UU KPK yang baru, yang menyatakan bahwa anggota Dewas tak boleh diisi orang yang pernah dipidana penjara.

Menurut Kurnia, permasalahan KPK saat ini bukanlah siapa yang mengisi posisi Dewas, melainkan keberadaan Dewas itu sendiri yang bermasalah. Sebab, konsep Dewas memperlemah kelembagaan KPK.

"ICW pada dasarnya menolak keseluruhan konsep dari Dewan Pengawas KPK. Keinginan dari Presiden dan DPR yang tetap bersikukuh membentuk Dewas semakin menunjukkan ketidakpahaman pembentuk UU dalam konteks penguatan lembaga antikorupsi," ujarnya.

Terdapat tiga hal, kata Kurnia, yang membuat ICW menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK. Pertama, lembaga negara independen tidak mengenal yang namanya Dewas karena yang terpenting adalah sistem pengawasan.

"Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik kepada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang," ujar Kurnia.

Terlebih, sambung Kurnia, KPK sudah diawasi oleh BPK, DPR dan Presiden. Jadi, konsep Dewas tak dibutuhkan KPK.

Kedua, kewenangan Dewas sangat berlebihan. Sebab, semua tindakan pro justicia yang dilakukan KPK harus seizin Dewas. Ketiga, kehadiran Dewas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, Dewas dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden.

"Pelemahan demi pelemahan terhadap KPK semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi," kata Kurnia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement