REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 7 November 1935 atau tepatnya 84 tahun lalu, WS Rendra dilahirkan. Penyair yang memiliki julukan Si Burung Merak ini merupakan salah satu sastrawan Tanah Air yang melontarkan kritikan kepada pemerintah dengan karyanya.
Ternyata, ada hal yang melatarbelakangi Rendra menjadi seorang penyair yang sangat tajam menyuarakan persoalan bangsa dan negara kepada penguasa. Adik kandung Rendra, Sudibyo, mengatakan bahwa abangnya melakukan itu salah satunya karena nasehat dari eyang kakung-nya yang juga seorang pujangga Keraton Yogyakarta.
"Dulu sewaktu Mas Rendra masih kecil, Eyang kakung melihat Mas Rendra punya darah penyair. Dia ditanya, kamu mau serius enggak jadi pujangga, Rendra jawab iya," ujar Sudibyo yang usianya terpaut 11 tahun dengan Rendra, saat menghadiri acara pembacaan puisi bertajuk Megatruh di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Kamis (7/11).
Menurut Sudibyo, Eyang pernah memberi petuah kepada Rendra. Ia menyebut, Eyang mengumpamakan pujangga dan pemerintah merupakan roh dan badan.
Pujangga bertugas mengurus roh masyarakat, sedangkan pemerintah harus mengurus badan masyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara secara maksimal, maka diperlukan kerja sama antara keduanya.
"Jadi tugasmu memelihara roh masyarakat," kata Eyang kepada Rendra, seperti ditirukan Sudibyo.
Oleh karena itu, puisi dari Rendra kebanyakan memelihara roh masyarakat, memberikan kritikan-kritikan yang membangun. Rendra terlahir dari keluarga seniman. Selain eyangnya, ayah dan ibunya pun berkecimpung di dunia seni.
Ayahnya yang bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjoadalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Selain itu, ayahnya juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional.
"Ibu, Raden Ayu Catharina, seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat," kata Sudibyo.