REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Ketika pasukan Turki menyerbu Suriah utara pada awal Oktober, para pendukung meluncurkan memberikan dorongan secara serempak di internet. Salah satu media sosial yang gencar digunakan untuk melakukan kegiatan tersebut adalah Twitter dan Instagram.
Lusinan gambar memperlihatkan tentara Turki sedang memeluk bayi, memberi makan balita yang kelaparan, dan membawa wanita tua. Semua wajah kebaikan itu tersebar luas di Twitter dan Instagram, mendapatkan tanda suka, retweet, dan dilihat ribuan kali berkat tagar yang populer.
Narasi yang digunakan menunjukkan tentara Turki membawa kebaikan dengan melakukan operasi militer di Suriah. Padahal, foto-foto yang digunakan nyatanya tidak ada hubungannya dengan operasi yang sedang dilakukan, bahkan beberapa tidak berada di wilayah tersebut.
Sejak bulan lalu, foto-foto yang menunjukkan posisi tentara Turki mulai bermunculan setelah penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) oleh Presiden Donald Trump. Penarikan itu membuka jalan bagi serangan Turki terhadap Kurdi di perbatasan dengan Suriah timur laut.
Pola tersebut pun digunakan juga untuk menjaring simpati pada Kurdi di Suriah. Unggahan media sosial yang bersimpati kepada Kurdi secara keliru menghubungkan Turki dengan gambar mengerikan serangan militer atau korban perang.
Cicitan menyudutkan itu mencakup foto seorang gadis dengan luka bakar parah di wajahnya yang konon menunjukkan Turki telah menyebarkan fosfor putih pada Kurdi. Padahal gambar tersebut diambil oleh seorang fotografer Reuters di Yaman pada April 2015.
Tapi, tidak seperti gambar pro-Kurdi, pos-pos palsu dan menyesatkan mendukung Turki tampaknya mendapat dorongan dari jaringan akun Twitter yang terkoordinasi. Mereka dapat membesarkan konten dengan memanfaatkan tagar dan retweet hingga menjadi trending.
"Itu bukan norma perilaku normal di Twitter," kata CEO VineSight Gideon Blocq. Lembaga itu merupakan perusahaan teknologi yang melacak informasi yang salah secara daring dan meninjau kicauan pro-Turki.
Analisis memeriksa frekuensi kicauan, penggunaan foto stok, dan lokasi enam akun Twitter yang mempromosikan gambar dan pengikut. Elemen tersebut menandakan perilaku tidak autentik dalam penggunaan akun Twitter.
"Orang dapat menyimpulkan bahwa akun otomatis ini ada di sana untuk mendorong konten," kata Blocq.
Kampanye daring itu menjadi propaganda di media sosial untuk mempengaruhi opini global tentang kontroversi serangan Turki di Suriah. Pola serupa pun sesungguhnya sudah sering terjadi di peristiwa-peristiwa dunia.
Contoh saja, pada bulan Agustus, Twitter mengumumkan telah menangguhkan lebih dari 200 ribu akun yang dianggap dijalankan oleh Beijing untuk propaganda yang menargetkan protes pro-demokrasi di Hong Kong. YouTube segera menyusul, menonaktifkan lebih dari 200 video yang diyakini sebagai bagian dari serangan, informasi yang salah terkoordinasi pada demonstrasi.
Propaganda media sosial adalah taktik dengan tingkat keberhasilan yang terbukti. Menurut penulis Like War: The Weaponization of Social Media P.W. Singer, negara-negara dan aktor asing hanya meniru metode yang digunakan oleh Rusia. Negara itu berhasil menyebarkan informasi yang salah tentang pemilihan presiden Amerika tahun 2016.
Pada momen itu, Rusia melakukan penyamaran akun media sosial yang tampak seperti milik warga AS. Padahal, Rusia sedang menipu orang-orang untuk berbagi gambar, teks, dan video yang menyesatkan atau salah tentang calon presiden, acara yang layak diberitakan, atau tentang partai politik.
"Pelajaran yang mereka ambil adalah itu tidak hanya berhasil, tetapi, juga murah dan mudah dilakukan dengan sedikit konsekuensi," kata Singer. Langkah ini, menurut Singer, menjadi normal baru dalam perang, politik, dan bisnis, dilansir dari AP, Sabtu (9/11).