Ahad 10 Nov 2019 06:25 WIB

Harga Produsen di Cina Alami Penurunan Tertajam

Pelemahan sektor manufaktur salah satunya akibat peningkatan tensi perang tarif.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Aktivitas manufaktur di Cina (ilustrasi)
Foto: thechinatimes.com
Aktivitas manufaktur di Cina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Harga produsen di Cina mengalami penurunan tertajam sejak tiga tahun terakhir pada Oktober. Pelemahan sektor manufaktur akibat penurunan permintaan dari negara lain dan peningkatan tensi perang tarif dengan Amerika Serikat (AS) menjadi faktor utamanya.

Indeks harga produsen (PPI) yang dilihat sebagai indikator kunci dari profitabilitas perusahaan turun 1,6 persen pada Oktober dari tahun sebelumnya (year on year/yoy). Berdasarkan data Biro Statistik Nasional (NBS), tren tersebut menjadi penurunan tertajam sejak Juli 2016.

Baca Juga

Penurunan PPI selaras dengan indikator lain yang menunjukkan penyusutan aktivitas manufaktur pada Oktober. Indeks Manajer Pembelian (PMI) secara resmi menunjukkan kontraksi selama enam bulan berturut-turut.

Analis ekonomi makro dari Changjiang Securities, Zhao Wei, mengatakan, deflasi PPI kemungkinan akan terus berlanjut seiring dengan tekanan permintaan dari berbagai negara. "PPI mungkin terus berada dalam kisaran pertumbuhan negatif," katanya dilansir di Reuters, Sabtu (9/11).

Banyak analis mengkhawatirkan perlambatan terus terjadi di kegiatan manufaktur. Mereka menilai potensi perang tarif yang terus berlanjut antara AS dengan Cina mengingat diskusi kedua pemimpin negara belum menemukan titik terang. Kemungkinan, AS akan menerapkan lebih banyak tarif terhadap produk Cina pada pertengahan Desember.

Para pejabat kedua negara mengatakan, pekan ini mereka telah sepakat untuk menurunkan tarif barang satu sama lain apabila kesepakatan perdagangan ‘fase pertama’ telah selesai. Tapi, sikap berbeda ditunjukkan Presiden AS Donald Trump. Pada Jumat (8/11), ia mengatakan belum setuju dengan tindakan mundur yang diminta Cina.

Kontras dengan PPI, harga konsumen di Cina justru meningkat dengan laju tercepat dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Sebagian besar didorong kenaikan harga daging babi sejak wabah demam babi Afrika menyerang.

Indeks harga konsumen (CPI) Cina mencapai 3,8 persen pada bulan lalu, naik dari angka 3,0 persen pada September. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 2012 silam. Para analis mengekspektasikan CPI di tingkat 3,3 persen.

Harga daging babi di Cina naik dua kali lipat pada Oktober dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data NBS, kenaikan harga tersebut berkontribusi 60 persen dari kenaikan CPI.

Perhitungan tahun kalender atau periode Januari sampai Oktober, CPI Cina berada di kisaran 2,6 persen. Angka ini masih berada di bawah target pemerintah, sekitar 3,0 persen sampai akhir tahun. Meski begitu, kenaikan inflasi menambah sakit kepala para pembuat kebijakan. Mereka berpacu untuk memenuhi target pertumbuhan tahunan Cina yang kini diproyeksikan hanya berada di rentang 6-6,5 persen sepanjang 2019.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement