Ahad 10 Nov 2019 12:06 WIB

Ekonomi Syariah Masih Belum Jadi Arus Utama Ekonomi

Ekonomi syariah menunjukkan perkembangan positif meski belum jadi arus utama ekonomi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Elba Damhuri
Ekonom Syariah FEM IPB, Irfan Syauqi Beik
Foto: Republika
Ekonom Syariah FEM IPB, Irfan Syauqi Beik

REPUBLIKA.CO.ID,

Wawancara: Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor, Irfan Syauqi Beik

Dalam acara Fesyar, BI menekankan untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai arus baru pertumbuhan ekonomi nasional. Bagaimana dan di mana sebenarnya posisi ekonomi syariah saat ini dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi tanah air?

Kalau kita bicara posisi ekonomi syariah hari ini, saya meyakini eksyar punya kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kita bisa lihat dari beberapa instrumen, misal industri halal yang sudah mulai berkembang. Contoh, di pasar kosmetik, sekarang produsen kosmetik halal sudah menguasai marketshare.

Demikian pula dengan makanan halal, misal perusahaan mie instan halal, ia juga menguasai pangsa pasar. Ini menunjukan bahwa industri produk halal sudah berperan. Ini yang sifatnya formal, artinya mereka punya sertifikat halal. Yang informalnya, sebagai negara mayoritas Muslim, banyak rumah makan atau sektor seperti pariwisata yang sudah menerapkan.

Hanya saja memang perlu ada kalkukasi atau perhitungan khusus, biar kita bisa hitung kontribusinya ke PDB. Karena kalau kita lihat, zakat juga yang pada 2018 berhasil mengumpulkan Rp 8,1 triliun, dan 83 persennya tersalurkan. Ini artinya sudah berkontribusi pada penguatan daya beli masyarakat.

Kontribusi ekspor juga, 21 persennya adalah produk halal. Jadi contoh kecil ini menunjukan sudah signifikannya sumbangsih ekonomi syariah dalam konteks pertumbuhan perkembangan ekonomi kita.

Bagaimana seharusnya kondisi ekonomi syariah yang disebut sebagai arus utama pertumbuhan ekonomi?

Kalau mau jadi disebut arus utama atau mainstream, maka pada sisi bisnis dan struktur ekonomi ini harus dominan. Dari sisi regulasi juga menunjukan ada keberpihakan serius dalam penguatan ekonomi syariah. Selain itu, pemahaman publik tentang halal ekonomi itu semakin meningkat.

Jadi kesadaran pakai produk halal, berbisnis secara halal, jual produk halal, mengeluarkan ziswaf, ketika semua ini menjadi dominan maka itu baru disebut arus utama. Ketika kita ingin mengarusutamakan, maka ini harus diperkuat. Regulasi yang mendukung akan semakin mendorong bisnis syariah sehingga lama kelamaan akan dominan.

Namun kondisi sekarang menunjukkan, kita belum bisa katakan arus utama. Karena literasi masyarakat masih rendah, masih 11 persen, marketshare ekonomi syariah juga masih sekitar delapan persen.

Potensi Indonesia sangat banyak sekali, mulai dari penduduknya yang bisa jadi konsumen sekaligus produsen, sumber daya alamnya, konektivitasnya. Apakah karena banyaknya ini, maka perkembangan ekonomi syariah sulit terdeteksi? Padahal banyak juga yang sudah Indonesia lakukan?

Paling tidak ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Kita memang hadapi masalah database mengenai perhitungan PDB yang bersumber dari halal ekonomi. Seperti sektor riil yang syariah, sektor keuangan syariah, sektor ziswaf. Dalam PDB kita tidak terhitung kontribusinya.

Problem kita ini belum punya database yang baik. Saya harapkan kita bisa perbaiki itu. Tugas ini mudah-mudahan bisa dilakukan otoritas-otoritas terkait. Mizal zakat oleh Baznas, keuangan syariah oleh OJK, BI, KNKS, kita harap bisa jadi pusat data valid juga.

Deteksi belum baik juga di sektor riil syariah. Sekarang kan ukurannya sertifikat, padahal itu kan baru sektor formal. Yang informal belum terangkum, padahal bisa jadi lebih besar.

Kemudian, kalau kita lihat kondisi yang ada, dari sisi awareness saja, kesadaran, kalo masyarakat sadar akan pentingnya makanan halal, maka masyarakat akan sangat selektif, kalau itu masif, maka ini berarti perkembangan ekonomi syariah baik.

Jadi masalah kedua adalah kesadaran, kalo ga ada kesadaran, masyarakat sudah tidak peduli, makan asal, minum asal, ia menganggap sama aja.

Jadi ini yang saya kira jadi kunci, ketika kita bicara tentang bagaimana kontribusi perkembangan eksyar itu sendiri. Faktanya hari ini potensi-potensi ini belum tergarap. Oleh karena itu, kita perlu terobosan. Memang sudah banyak yang dilakukan pemerintah. Tapi bukan soal banyaknya, melainkan berkualitas tidak efektif tidak.

Pada sisi ini memang belum terlalu bisa mengangkat dan mendorong penguatan peran dan kapasitas ekonomi syariah ini. Karena kita masih lihat kesenjangan besar antara realisasi dan potensi.

Perlu aksi seperti apa, atau gebrakan apa yang bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki demi perkembangan ekonomi syariah?

Minimal, memastikan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia bisa terlaksana. Pemerintah bisa menjaga, mengawal. Karena itu akan signifikan ketika dilaksanakan dengan baik.

Ketika quick wins diimplemetasikan dengan baik akan berimbas besar. Misal, dalam MEKSI itu zakat ada amandemennya wajib bukan sukarela seperti sekarang dan bisa jadi pengurang pajak.

Ini terobosan signifikan mengangkat akselerasi keuangan sosial Islam. Dari sektor keuangan syariah misal konversi salah satu bank BUMN jadi bank syariah. Ini gebrakan. Lainnya dikaitkan sektor riil. Ketika misal kita bisa melaksanakan MEKSI yang baik akan jadi luar biasa. Sekarang kita baru berhenti pada seremonial, pencanangan. Belum pada aksi yang lebih high impact.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement