REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, bea masuk sementara sebesar Rp 1.405 per kilogram yang dikenakan terhadap impor produk benang masih terlalu kecil. Dalam perhitungannya, dibutuhkan besaran tiga kali lipat untuk dapat memulihkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dinilainya kini sedang dalam kondisi ‘sakit’.
Redma mengatakan, besaran bea masuk sementara yang ditentukan pemerintah saat ini hanya seperlima dari rata-rata harga benang impor, yakni Rp 30 ribu sampai Rp 35 ribu per kilogram. Oleh karena itu, ia melihat kebijakan ini akan kurang efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai pemerintah, yaitu menahan laju impor. "Harusnya bisa lebih dari itu (re: Rp 1.405 per kilogram)," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (10/11).
Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi merilis tiga peraturan teknis mengenai penerapan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk beberapa jenis barang impor. Salah satunya mengenai impor produk benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial. Tiga beleid ini dirilis bersamaan pada Selasa (5/11) dan mulai diimplementasikan pada Sabtu (9/11).
Redma mengatakan, besaran safeguard biasanya dihitung oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia Kementerian Perdagangan (KPPI Kemendag) berdasarkan perbedaan secara persen antara harga impor dengan harga produk lokal. Kemudian, ditambah dengan persentase untuk pemulihan industri.
"Kalau hitung-hitungan kami, minimal Rp 5 ribu per kilogram," katanya.
Tapi, Redma mengakui, penerapan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) ini hanya berlaku sebagai safeguard jangka waktu pendek yaitu 200 hari. Artinya, industri masih memiliki harapan kepada pemerintah untuk menerapkan bea masuk yang lebih tinggi pada bea masuk tetap nanti.
Saat ini, Redma menjelaskan, KPPI Kemendag sedang dalam masa penyelidikan berdasarkan data yang sudah masuk. Data tersebut di antaranya memperlihatkan besaran kerugian industri. Nantinya, KPPI akan menetapkan bea masuk tetap yang akan berlaku hingga tiga tahun.
Sembari menunggu kebijakan bea masuk tetap, Redma menyebutkan, industri kini hanya bisa berpasrah dan berharap agar pemerintah dapat menetapkan bea masuk yang mampu memulihkan industri TPT. "Kami tidak bisa ngapa-ngapain, berdoa saja supaya regulasi ini benar bisa menurunkan impor," ucapnya.
Penerapan BMTPS diberlakukan melalui PMK Nomor 161 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Selain benang, BMTPS juga dikenakan pada produk kain melalui beleid PMK Nomor 162 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Kain. Terakhir, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menuturkan, industri memiliki tugas besar dalam kurun waktu 200 hari pelaksanaan BMTPS ini. Yaitu, meyakinkan pemerintah bahwa tidak akan terjadi kerusakan dan bahkan penutupan industri dengan safeguard tersebut.
"Dengan begitu, kami memperlihatkan, perlu perlindungan lebih lanjut berupa safeguard permanen atau tiga tahun," ucapnya.
Ade mengakui, kurun waktu 200 hari bukanlah waktu yang panjang dan efektif untuk menahan laju impor TPT. Tapi, industri juga tidak akan berpangku tangan. Ia berharap industri tetap dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin. Khususnya dengan melakukan restrukturisasi permesinan.
Upaya tersebut dilakukan agar industri dapat menjadi efisien dan memiliki daya saing setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan produk luar negeri ketika BMTPS dicabut. "Kalau kita tidak mengubah perilaku kita, manajemen permesinan, maka kita tetap jadi pecundang," kata Ade.