REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyebut bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung memang perlu dievaluasi penyelenggarannya. Hal itu disampaikannya setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa Pilkada langsung menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah transaksi politik yang tinggi.
Siti menyebut, jika pilkada langsung hanya menjadi ajang transaksi politik, hal itu dapat berbahaya bagi demokrasi. Sebab, semua kontestan hanya memikirkan cara untuk memenangkan Pilkada tanpa memikirkan masyarakat yang menjadi konstituennya.
“Jika cuma vote buying, cuma politik transaksional pokoknya menghalalkan segala cara, menurut saya harus dihentikan. Karena ini bahaya sekali,” ujar Siti saat dihubungi, Ahad (10/11).
Pilkada langsung juga harus dievaluasi, karena menurutnya tidak semua daerah dapat menerapkan pemilihan secara langsung. Ia mencontohkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki otonomi khusus, karena wilayah tersebut masih bersifat kerajaan.
“Papua juga salah satu contohnya, itu sudah ada satu usulan untuk tidak menerapkan Pilkada langsung. Karena bahkan di daerah-daerah tertentu yang merasa aneh dilangsungkan Pilkada langsung,” ujar Siti.
Dengan adanya evaluasi, Siti menganggap bahwa itu bukan merupakan tanda kemunduran bagi demokrasi. Menurutnya, itu menjadi tanda bahwa negara bercermin pada hal-hal yang dianggap merugikan dari penyelenggaraan pilkada-pilkada sebelumnya.
Selain itu, masyarakat juga tidak perlu takut dengan adanya evaluasi akan memunculkan keotoriteran dalam memilih kepala daerah. Karena ia yakin evaluasi dilakukan pada daerah-daerah yang terindikasi adanya biaya politik yang tinggi.
“Demokrasi itu membangun peradaban, kalau kita tidak beradab dengan sistem demokrasi yang kita aplikasikan, apalagi melalui yang langsung itu, itu harus dipertanyakan. Dalam konteks itu (biaya politik) menurut saya memang harus dievaluasi,” ujar Siti.