Senin 11 Nov 2019 06:03 WIB

Kisah Aldo: Samar Alunan Tarhim di Mapolres

Aldo melihat Yadi masih tak sadarkan diri dengan masker sudah mencangkok hidungnya.

Red: Muhammad Subarkah
Simulasi penanganan kerusuhan massa.   (ilustrasi)
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto/ss
Simulasi penanganan kerusuhan massa. (ilustrasi)

Aksi unjuk rasa di Jakarta yang bermula pada 25 September 2019 lalu tak sedikit memakan korban. Beberapa di antaranya tak kembali ke keluarga mereka dalam keadaan hidup. Wartawan Republika, Ali Yusuf, menelusuri kisah sepasang sahabat yang terjebak dalam kekisruhan tersebut pada pertengahan Oktober lalu. Berikut tulisan bagian pertama.

Asholatuwasalamun ‘alayk ….

Ya imamal mujahidin ....

Ya Rasulullah ….

Lamat-lamat alunan shalawat tarhim diselingi deru kendaraan membangunkan Rivaldo Dwika Dhuha alias Aldo pada Kamis, 26 September 2019. Ia juga merasakan ada udara dingin masuk ke hidungnya. Masih dalam keadaan mata terpejam, tanpa sengaja bocah 14 tahun ini menyentuh sesuatu yang menempel di bagian dadanya. Ia telusuri sampai mendapati ujung yang berakhir di mulutnya. Benda itu merupakan selang bagian ujung dari masker yang menelungkupi hidungnya.

Perlahan Aldo membuka matanya. Saat itu, pertama yang ia lihat adalah langit masih gelap. “Di mana ini? Kenapa suasananya beda?”gumamnya dalam hati seperti dituturkan kepada Republika, Selasa (15/10).

Tangan yang tadi ia gunakan memegang selang oksigen ia turunkan. Masih dalam posisi telentang, Aldo merasakan sesuatu menusuk-nusuk kulit. Aldo langsung mengibas-ngibas pasir yang menusuk tangan dan pipinya itu.

Pelan-pelan, Aldo membuka matanya dan mendapati tulisan Polres Jakarta Barat dengan huruf kapital. Ia sadari kemudian tempatnya berbaring kala itu begitu ramai dengan anggota berseragam polisi.

Di tengah perasaan takut dan waswas, Aldo mencoba menenangkan diri dan berusaha mengingat kesalahan apa yang dia perbuat terakhir kali hingga berada di polres dengan posisi baru sadarkan diri. Saat mengingat, kepala Aldo langsung terasa sakit, pusing, dan mual. Selain itu, pundak sebelah kanannya pun terasa berat dan tidak bisa menoleh ke kanan dan kiri seperti biasanya.

Pelan-pelan Aldo meletakkan tangannya ke kepala untuk sekadar memijit-mijit. Baru saja satu jari menyentuh kepala, tepatnya di bagian ubun-ubun, Aldo merasakan rasa nyeri yang begitu dahsyat. Rasa sakit dan ngilu juga dirasakan di pundaknya bagian kanan.

Saat dipegang secara perlahan, terdapat tonjolan di bagian ubun-ubunya. Saat menoleh ke kanan, lehernya juga terasa sakit. Dari rasa sakit itulah Aldo baru pelan-pelan mengingat semuanya. Ia samar-samar mengingat proses penangkapannya semalam, 25 September 2019. Oleh aparat, ia dijebloskan ke dalam mobil bus di jembatan layang Slipi Jaya. Ia juga ingat pentungan mendarat di kepala dan punggungnya.

Masih dalam keadaan terbaring, dia menoleh ke kiri. Ia melihat orang-orang bergeletakan. Ada juga orang yang sudah duduk jongkok dan berdiri di halaman Mapolres Jakarta Barat. Di ruang terbuka itu, ia juga melihat polisi dengan baju bertulisan “DOK POL” di bagian punggung sedang memasang selang oksigen kepada orang-orang yang bergeletakan. “Pas sadar itu kira-kira jam empatan hari Kamis (26/9),” kata Aldo.

Dalam keadaan duduk itu, Aldo sempat melirik kiri dan kanan untuk mencari posisi sahabatnya, Maulana Suryadi. Ia ingat semalam berangkat bersama dari rumahnya, kemudian mereka melintasi jembatan layang Slipi Jaya. Tak berselang lama setelah itu, mereka berdua justru ditangkap dan dimasukkan ke dalam mobil oleh aparat kepolisian berseragam Brimob.

Ia menemukan Maulana Suryadi sekitar 1,5 meter dari tempatnya terbaring. Aldo melihat Yadi, sapaan akrab sahabatnya itu, masih tak sadarkan diri dengan masker oksigen sudah mencangkok hidungnya. “Sempat lihat ada darah di pipinya dikit. Soalnya saya enggak ngelihat jelas juga, kepala masih pusing,” kata Aldo mengenang saat itu.

Tak berapa lama, seorang anggota polisi terdengar menyarankan Maulana Suryadi dibawa ke ruang perawatan. Setelah Maulana Suryadi dibawa ke dalam, tiba-tiba seorang anggota polisi berseragam Brimob menghampirinya di halaman Polres Jakarta Barat. “Kamu lagi ngapain di situ (Slipi Jaya),” tanya anggota itu kepada Aldo.

Aldo mengaku tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Selain kepalanya masih pusing, saat itu dia juga mengaku masih trauma. Beberapa anggota polisi berseragam Brimob terus mendekatinya dan menyampaikan pertanyaan sama.

Tak kunjung bisa menjawab, Aldo langsung dibawa ke dalam ruangan Polres Jakarta Barat menyusul orang-orang yang ditangkap telah masuk ke dalam lebih dulu. “Enggak saya jawab, soalnya banyak banget yang tanya. Akhirnya, karena di situ enggak sempat jawab, baru dibawa ke dalam,” katanya.

Di dalam ruangan polres berapa lama, Aldo bersama yang lainnya dibawa naik ke lantai dua. Di sana hasil tangkapan polres diabsen untuk mengatahui berapa usia, di mana alamat rumahnya, siapa nama orang tuanya, apa statusnya, mahasiswa, pelajar atau pengangguran. Selesai diabsen, petugas memisahkan mereka.

Ada 16 orang yang dipisahkan dan dibawa ke ruang pelayanan perempuan dan anak (PPA). “Saya salah satunya dari 16 orang itu,” katanya. Di ruang PPA, Aldo kembali ditanyai soal alasannya berada di lokasi tempat ia ditangkap. Setelah selesai menjawab pertanyaan, semuanya dari 16 orang itu masih ditempatkan di ruang PPA.

Aldo menceritakan, keesokan harinya pada Jumat, 27 September, petugas kembali melakukan pekerjaan yang sama. Mengabsen 16 orang di ruang PPA dan menyampaikan pertanyaan yang sama. “Setelah ditanya-tanya itu, saya tidur. Bangun pas hari Jumat, ditanyain lagi. Pertanyaannya diulang-ulang. Tiap hari pertanyaan itu saja,” kata dia.

Pada Ahad malam, 29 September, Aldo pulang. Dewi Susanti, ibunda Aldo mengatakan, ia mengetahui anaknya ada di Polres Jakarta Barat dari seorang anggota polisi Polres Jakarta Barat bernama Hendri. Hendri datang kerumahnya pada Sabtu sore.

Sebelum datang kabar itu, Dewi mengaku tak enak tidur dan tak enak makan. Ia dan suaminya, Yusril Anwar, sudah menghubungi teman-teman Aldo. Semuanya bilang, terakhir Aldo terlihat berjalan bersama Maulana Suryadi.

Kepanikan kemudian melanda Dewi sepanjang akhir pekan itu. Dalam doa dan kepasarahan, pada Sabtu (28/9) setelah shalat Ashar, pintu rumahnya ada yang mengetuk. “Kalau anak Ibu bernama Aldo, sekarang ada di Polres Jakarta Barat, silakan jemput, Bu,” kata Dewi mengingat pesan petugas polisi yang datang.

“Terima kasih, ya Allah. Doa saya dikabulkan,” begitu kata Dewi mendengar kabar tersebut. Ia bersyukur anaknya tak mengalami yang ia takutkan; hal mengerikan yang nantinya menimpa Maulana Suryadi, sahabat karib anaknya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement