Senin 11 Nov 2019 16:08 WIB

'Politik Harus Terbebas dari Identitas Primordial'

Bangsa ini butuh sosok pahlawan baru yang dapat melawan kerasnya politik identitas.

Red: Fernan Rahadi
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.
Foto: Republika/Wihdan H
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ruang publik dalam dua tahun terakhir semakin banyak dipenuhi dengan permainan politik identitas yang mengumbar kebanggaan primordial. Lambat tapi pasti suasana ini membawa sesuatu yang tidak produktif dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara.

Karena itulah, tantangan bangsa saat ini dihadapkan pada upaya melawan kristalisasi kebangaan identitas primordial yang dapat menggoyahkan kebanggaan nasionalisme. Dalam konteks inilah, bangsa ini butuh sosok pahlawan-pahlawan baru yang dapat melawan kerasnya politik identitas yang dapat merusak perdamaian bangsa.

“Awal kesepakatan kita berbangsa bernegara ini kan jelas, yaitu Pancasila itu modal sosial kita yang terbesar. Secara historis, bangsa ini memang sudah luar biasa pluralnya, bangsa kita terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Dengan begitu artinya tugas Pancasila itu menjaga semua kemungkinan-kemungkinan dari SARA  yang disebut identitas primordial itu. Karena hal itu merupakan ancaman semua untuk kesatuan republik Indonesia,” ujar Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk, Jumat (8/11).

Oleh karena itu Hamdi mengatakan sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ini bisa menjaga makna persatuan yang sebenarnya. Sebab, ketika suku, agama dan ras itu dibawa ke politik maka kemudian akan menjadi politik Indonesia yang dapat membuat perpecahan.