REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ruang publik dalam dua tahun terakhir semakin banyak dipenuhi dengan permainan politik identitas yang mengumbar kebanggaan primordial. Lambat tapi pasti suasana ini membawa sesuatu yang tidak produktif dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara.
Karena itulah, tantangan bangsa saat ini dihadapkan pada upaya melawan kristalisasi kebangaan identitas primordial yang dapat menggoyahkan kebanggaan nasionalisme. Dalam konteks inilah, bangsa ini butuh sosok pahlawan-pahlawan baru yang dapat melawan kerasnya politik identitas yang dapat merusak perdamaian bangsa.
“Awal kesepakatan kita berbangsa bernegara ini kan jelas, yaitu Pancasila itu modal sosial kita yang terbesar. Secara historis, bangsa ini memang sudah luar biasa pluralnya, bangsa kita terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Dengan begitu artinya tugas Pancasila itu menjaga semua kemungkinan-kemungkinan dari SARA yang disebut identitas primordial itu. Karena hal itu merupakan ancaman semua untuk kesatuan republik Indonesia,” ujar Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk, Jumat (8/11).
Oleh karena itu Hamdi mengatakan sudah seharusnya Pancasila sebagai ideologi bangsa ini bisa menjaga makna persatuan yang sebenarnya. Sebab, ketika suku, agama dan ras itu dibawa ke politik maka kemudian akan menjadi politik Indonesia yang dapat membuat perpecahan.
“Politik harus terbebas dari isu SARA. Harus diarahkan ke toleransi yang dapat menerima budaya yang berbeda-beda, sehingga terciptalah apa yang dinamakan multi kulturalisme itu. Kita kelola segala perbedaan itu untuk menguatkan persatuan, Jangan malah itu dijadikan alat untuk berpolitik, bisa konflik nantinya bangsa ini,” tutur Hamdi.
Pria yang juga merupakan Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mengungkapkan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia saat ini dapat mencontoh para pendiri bangsa di masa lalu. Karena dengan persatuan yang dimulai dari kebangkitan nasional yang lalu kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda itulah bangsa ini akhirnya bisa merdeka.
“Salah satu contoh di masa lalu itu, Muhammad Natsir itu aspirasi politiknya adalah Masyumi partai Islam, tetapi kemudian dia bisa bersahabat dengan orang-orang dari partai Katolik. Nggak ada itu sedikit-sedikit mengkafir-kafirkan. Karena ketika seseorang sudah menjadi tokoh bangsa sudah mengemban jabatan jabatan publik, memang dia tidak lagi jadi wakil satu golongan tetapi dia sudah wakil dari semuanya,” kata pria yang juga mantan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Koropsi (Pansel Capim KPK) tersebut.