REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terpidana korupsi KTP-Elektronik Markus Nari menuding Majelis Hakim PN Tipikor mengabaikan fakta persidangan untuknya. Mantan anggota Komisi VII DPR RI dan Badan Anggaran itu menyebut, Majelis Hakim mengutip kesaksian yang salah terkait vonis bersalah untuknya.
Markus menegaskan, dirinya tak pernah menerima uang sebesar 400 ribu dolar Amerika Serikat (USD) seperti penjelasan Majelis Hakim terkait proyek bernilai triliunan rupiah yang berkasus tersebut. “Ini tanda tanya bagi saya. Saya tidak pernah menerima (uang 400 ribu USD),” kata Markus Nari usai persidangan putusan untuknya, di PN Tipikor Jakarta, Senin (11/11).
Politikus Partai Golkar itu mengatakan, penjelasan Majelis Hakim tersebut patut dipertanyakan karena menyimpang dari sejumlah kesaksian dalam persidangan. “Ini jelas kelihatan ada banyak kesaksian yang tidak dipertimbangkan (oleh Majelis Hakim),” sambung Markus Nari.
Markus mengatakan, Majelis Hakim menjadikan kesaksian Sugiharto yang saat itu sebagai pejabat di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memberikan uang. Sugiharto saat menjadi saksi dalam persidangan Markus Nari membenarkan pemberian uang tersebut.
Namun, Markus Nari mengatakan, kesaksian Sugiharto yang menyebut pemberian uang tersebut terjadi dengan pecahan dolas Singapura (USG). “Sudah dijawab berkali-kali (oleh Sugiharto) Singapura dolar. Pecahan seratus,” kata Markus Nari.
Ia menambahkan, mengapa dalam penjelasan amar putusan, dikatakan dirinya menerima uang dalam pecahan USD. “Nyatanya, dalam putusan kenapa yang disampaikan dolar Amerika?,” ujar Markus Nari.
Penjelasan tersebut yang membuat Markus Nari, merasa tak menerima uang 400 ribu USD. “Itu yang saya pertanyakan,” sambung dia.
Selain itu, Markus Nari juga menolak penjelasan Majelis Hakim yang membenarkan Jaksa KPK terkait dakwaan kedua, menghalangi pemeriksaan terhadap Miryam Hariyani. Sebab, Markus Nari meyakini, pada saat memberikan kesaksian untuknya, Miryam Haryani mengaku tak merasa dilindungi olehnya.
“Jelas-jelas yang bersangkutan, Miryam menyatakan, saya tidak pernah menghalang-halangi,” kata dia.
Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta, Senin (11/11) sore memutuskan Markus Nari bersalah menerima uang senilai 400 USD atau setara Rp 4 miliar. Ketua Majelis Hakim Franky Tumbuwan, saat membacakan amar menebalkan hukuman penjara selama enam tahun dan denda Rp 300 juta atau kurungan tambahan selama tiga bulan.
Majelis Hakim juga memerintahkan Markus Nari mengembalikan hasil korupsinya ke kas negara senilai 400 ribu USD. Para pengadil juga memerintahakan pencabutan hak politik selama lima tahun.
Hukuman terhadap Markus Nari ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam tuntutan, Jaksa KPK meminta Majelis Hakim memenjarakan Markus Nari selama sembilan tahun dan denda Rp 500 juta, atau kurungan tambahan enam bulan.
Jaksa meyakinkan Majelis Hakim atas dakwaan terhadap Markus Nari yang melanggar Pasal 3 UU 31/199 perubahan UU 20/2001 Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. KPK juga menebalkan dakwaan Pasal 21 UU Tipikor. Dakwaan Jaksa tersebut terbukti.
Dalam putusan, Majelis Hakim mengatakan, Markus Nari terbukti menerima uang 400 ribu dolar USD seperti dakwaan pertama, dan melakukan penghalangan dalam penyidikan terhadap rekannya sesama politikus DPR dari Partai Golkar, Miryam Haryani dalam kasus serupa.
Namun, Majelis Hakim memberikan alasan keringanan hukuman terhadap Markus Nari yang dianggap sopan selama persidangan dan belum pernah melakukan tindak pidana. Meski menolak penjelasan Majelis Hakim, Markus Nari belum merencanakan untuk mengajukan banding atas hukuman terhadapnya.