REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan bahwa mantan narapidana kasus korupsi dilarang untuk mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal itu ditegaskan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI.
"Larangan mencalonkan diri dari mantan bandar narkoba atau mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Ini dalam PKPU sebelumnya sudah ada, kemudian kita tambahankan bagi mantan terpidana korupsi," ujar Komisioner KPU, Evi Novida Ginting di Ruang Komisi II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/11).
Ia menjelaskan, ada sejumlah alasan mengapa KPU melarang mantan narapidana kasus korupsi maju dalam Pilkada. Salah satunya agar pemimpin suatu daerah memiliki kompetensi dan integritas.
Selain itu, KPU ingin memberi hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik. Khususnya terhindar dari kasus korupsi agar publik percaya pada pemimpinnya.
"Alasannya adalah untuk memberikan pilihan calon kepada masyarakat yang bebas korupsi, kemarin penjelasannya sudah cukup banyak pada RDP lalu," ujar Evi.
Sebelumnya, Komisi II DPR RI belum mencapai kesepakatan soal narapidana koruptor dilarang mencalonkan diri jadi kepala daerah dalam rancangan revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 3 tahun 2017.
Ketua Komisi Il DPR RI Ahmad Doli Kurnia merasa perlu ada evaluasi dan penyempurnaan menyeluruh peraturan untuk pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun, kemungkinan penyempurnaan itu dilakukan setelah Pilkada Serentak 2020.
"Kita lihat perkembangannya nanti seperti apa Mana (kekurangan) yang bisa ditutupi melalui PKPU, mana yang perlu revisi (Undang-Undang)," ujar Doli.
Ia mengatakan masa sidang tahun ini tinggal pada 12 Desember 2019. Kemudian masa sidang tahun depan akan masuk di pada 6 Januari 2020. Sementara tahapan pemilu harus sudah dimulai pendaftaran calon pada Juni 2020.
"Kira-kira mungkin tidak (revisi Undang-Undang) itu terjadi? Makanya, harus kami atur betul situasinya untuk melihat materi revisi (Undang- Undang), memungkinkan tidak untuk kami melakukan revisi," ujar Doli.