Selasa 12 Nov 2019 08:00 WIB

Bakso Terakhir Maulana Suryadi pada Demonstrasi 25 September

Bakso Terakhir Maulana Suryadi Pada Demontrasi 25 September

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Subarkah
Mahasiswa Iran terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat menggelar demonstrasi antipemerintah di Universitas Teheran di Teheran, Iran, pada 30 Desember 2017.
Foto: EPA-EFE/STR
Mahasiswa Iran terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat menggelar demonstrasi antipemerintah di Universitas Teheran di Teheran, Iran, pada 30 Desember 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi unjuk rasa di Jakarta yang bermula pada 25 September 2019 lalu tak sedikit memakan korban. Beberapa di antaranya tak kembali ke keluarga mereka dalam keadaan hidup. Wartawan Republika, Ali Yusuf, menelusuri kisah sepasang sahabat yang terjebak dalam kekisruhan tersebut pada pertengahan Oktober lalu. Berikut tulisan bagian kedua.

Cahaya matahari mulai menerabas sudut-sudut gang di Kampung Baru Muhajar Dalam, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada Rabu, 25 September lalu. Pukul 06.30 lewat, sepeda motor mulai berseliweran keluar dan masuk gang mengantarkan pengemudinya ke sekolah, kampus, pertokoan, dan perkantoran yang tersebar di setiap sudut Jakarta.

Rivaldo Dwika Dhuha alias Aldo tak bergegas bangun. Remaja 14 tahun itu lebih memilih menarik selimut, membalik bantal, memeluk guling, lalu melanjutkan tidur di salah satu kamar di kontrakan tiga petak yang disewa orang tuanya di di RT 03/03, Kampung Baru Muhajar Dalam.

Sejak pagi buta, ayah Aldo, Yusril Anwar (53 tahun), sudah mengais rezeki berjualan di Pasar Loak Stasiun Kebayoran Lama. Ketiga adiknya, bernama Ravelo (12), Naisya, dan Nailya (7) sudah di sekolah.

Semestinya, remaja seusia Aldo juga pergi bersekolah pada waktu-waktu seperti itu. Kendati demikian, sejak dua tahun lalu Aldo sudah tak lagi tertarik meneruskan pendidikan. Ia memilih berhenti sekolah saat menginjak kelas V SD. Alasannya sepele, ia menganggap jarak rumah dan sekolahnya terlampau jauh. “Aldo //enggak// mau sabar. Dia lebih milih tak sekolah,” kata Dewi Susanti (40), ibundanya, ketika ditemui Republika pada Selasa (15/10) lalu.

Guna mengisi hari, tekadang Aldo ikut bekerja di kompleks pertokoan Blok F, Ruko Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai kuli bongkar muat bahan-bahan tekstil. Pekerjaan ini ia dapatkan berkat pertemanan dengan Maulana Suryadi alias Yadi.

Selain juga bekerja sebagai tukang bongkar muat barang, pekerjaan utama Yadi adalah penjaga parkir. Lahan parkiran di Blok F, khususnya di bagian kendaraan roda empat, merupakan warisan ayah Yadi yang meninggal setahun lalu.

Saban hari, Aldo biasanya menyambangi Yadi di kontrakannya di Gang Haji Abdullah, Kampung Baru, Sukabumi Selatan. Jarak kontrakan Aldo ke kontrak Yadi kurang lebih sekitar 100 meter.

Aldo selalu menjadi orang pertama diajak Yadi bekerja membongkar muat barang-barang di Tanah Abang. Hasilnya ia anggap lumayan. “Kalau lagi banyak, bisa dapat Rp 70 ribu sekali bongkar muat,” kata Aldo saat berbincang dengan Republika, pertengahan bulan lalu. Dari aktivitas inilah Aldo dan Yadi berteman dekat. Mereka berdua bak sejoli yang tak bisa dipisahkan lagi.

Meski usia Aldo sembilan tahun lebih muda, Yadi menganggap Aldo teman sebayanya, begitu pun Aldo terhadap Yadi yang menganggapnya seumuran. Dalam keseharian, mereka sudah biasa memanggil dengan sapaan elo dan gue khas Jakarta.

Bakso terakhir

Pada hari yang sama, sekitar pukul 21.30 WIB, keluarga Eva alias Maspupah (50) lengkap berada di kediaman mereka di Gang Haji Abdullah, Kampung Baru. Eva dan Bayu, putranya, baru pulang dari tempatnya bekerja sebagai juru parkir di Blok F, Ruko Tanah Abang.

Di ruangan rumah kontrakan bertingkat dua yang lebarnya kurang lebih 4 meter dan panjang kurang lebih 8 meter itu sudah ada Febrianti (14), Maulana Aditiya alias Boim (10), dan Maulana Suryadi. Saat Ibu Kota mulai digoyang aksi unjuk rasa, mereka beristirahat.

Yadi malam itu membawa Aldo ke rumahnya. Kawannya itu kemudian ia tinggal di lantai bawah, sementara Yadi menghabiskan bakso racikan sang ibunda malam itu. “Habisin ya, Di. Biar kenyang,” ujar Maspupah mengulang ucapannya saat itu kepada Republika.

Lepas makan bersama, Maspupah merebahkan diri di kamar di lantai atas. Ia kemudian didekati Yadi. “Yadi pijitin ya, Bu!” katanya. “Pasti minta upah, ya, buat beli rokok,” kata Maspupah berseloroh.

Belum memijit ibundanya, Yadi bergeser ke kamar mandi yang hanya satu langkah di tempat Maspupah rebahan. “Jangan suka mandi malam-malam, //entar// rematik,” kata Maspupah menegur anaknya.

Selesai mandi, Yadi mengambil dan mengenakan sweater hitam polos lengan panjang milik adiknya, Maulana Rizky. Setelah rapi dengan pakai serba hitam, Yadi tiba-tiba mendekati ibunya, mencium kening Maspupah. “Maafin Yadi, ya, Bu,” katanya. “Sekarang minta maaf, nanti ngelawan lagi sama ibu,” kata Maspupah sambil bergurau.

Selesai itu, Yadi turun ke bawah. Tidak lama kemudian, Yadi naik lagi dan menemui ibunya yang masih rebahan di lantai. “Bu, Yadi minta maaf, ya.” “Iya, Di. Ada apa sih, Di, minta maaf mulu,” tanya ibunya. “Ye, Ibu marah-marah mulu. Orang Yadi cuma mau minta maaf,” timpal Yadi lagi.

Selepas itu, Yadi bersama Aldo meninggalkan kediaman. Sejam kemudian, Yadi kembali lagi mengambil tas milik Boim, adiknya. “Mau ngapain malam-malam tanya tas Boim?” tanya Maspupah.

“Yadi mau ikut demo, Bu. Dibayar,” kata Yadi menjawab sekenanya.

“Mau ngapain ikut demo, entar celaka. Dibayar nggak seberape, nanti dipukulin sama polisi babak belur. Mau kayak gitu!?” kata Maspupah menimpali.

Ia kemudian meminta kesediaan Aldo membujuk Yadi. Aldo mencoba menenangkan dengan mengatakan bahwa mereka berdua hanya hendak pergi menagih utang ke salah seorang rekan di Kota Bambu, Palmerah, Jakarta Barat.

Bagaimanapun, pada akhirnya mereka berdua berangkat. Maspupah masih tak menyangka, malam itu adalah terakhir kalinya ia akan menemui putra paling tuanya itu dalam keadaan masih bernyawa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement