Direktur Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan kalangan pekerja migran mengalami kondisi rentan sehingga bisa terpapar radikalisme. Pelaku serangan bom bunuh diri di Indonesia bahkan ada yang berasal dari latar-belakang pekerja migran.
Hal itu dikemukakan Wahyu dalam diskusi Indonesia Forum yang digelar di University of Melbourne, Senin (11/11/2019). "Bayangan kita mereka yang melakukan aksi terorisme adalah yang tergabung di organisasi Islam garis keras," katanya.
"Mungkin (ada) dari unsur mereka juga, tapi ternyata dari kelompok-kelompok pekerja yang rentan ini juga sudah mulai muncul," ujarnya.
Menurutnya, kelompok yang rentan terpapar radikalisme tidak lain adalah kelompok yang masuk dalam golongan prekariat.
Antropolog dan dosen di Universitas Sebelas Maret Solo, Aris Mundayat yang juga hadir dalam diskusi itu, mengatakan definisi prekariat di abad ke-21 ini berbeda dengan pengertiannya di abad ke-19.
Ia mengatakan bahwa di masa ini, pekerja migran harus terlebih dahulu mengeluarkan modal untuk dapat bekerja. Hal ini menimbulkan kondisi precarious atau rentan.
"Kenapa mereka precarious? Ketika mereka berangkat mereka sudah harus mengeluarkan modal, kalau ke Hongkong mungkin 20-30 juta rupiah," kata dia.
"Artinya apa? Tekanan, deprivasi dan juga prekaritas sangat tajam dan sangat kuat sehingga kemudian tidak ada kepastian masa depan mau apa. Satu-satunya jalan pergi ke agama."
Dian Novi dan Ika Puspitasari, pekerja migran Indonesia yang menurut Wahyu adalah generasi pertama perempuan pelaku tindakan bom bunuh diri, jadi contoh.
"Ini perubahan sebenarnya. Dari ekstrimisme kekerasan yang pada dulunya mendomestikasi (atau menjinakkan) perempuan pada pekerjaan-pekerjaan di belakang," katanya.
"Tapi kemudian ada konstelasi politik di mereka. Kalau beberapa orang melihat, ada perubahan dari Jamaah Islamiah ke Jamaah Ansharut Daulah misalnya kalau di Indonesia."
Perempuan tak lagi pasif
Aris bercerita tentang wawancaranya dengan pekerja migran di Jember, Wonosobo dan Indramayu yang pernah bekerja di Hongkong, Taiwan, Singapura dan Malaysia.
Ia mengatakan melihat adanya proses menarik tentang bagaimana mereka terpapar radikalisme sampai ke tingkat ekstrem.
"Sebelum mereka berangkat sebenarnya mereka masih ada di dalam ruang kebudayaan yang relatif plural dan multikultural. Paling tinggi tingkat keagamaannya adalah konservatisme yang masih OK," kata dia.
"Orang seperti Ika ataupun Dian dulunya sangat pluralis, pernah mewarnai rambutnya warna biru, merah dan pakaiannya biasa."
"Semua seperti itu. Tapi kemudian berubah. Sebagian yang berubah ini dibajak oleh kelompok ISIS," tambahnya.
Aris melihat adanya proses bersentuhan antara pekerja migran perempuan ini dengan kelompok-kelompok fundamentalis melalui pertemuan-pertemuan agama di negara tempat mereka bekerja.
Dalam pertemuan itu, ia mengatakan bahwa perempuan diajarkan cara membangun jejaring sebagai bekal ilmu yang membuat mereka tidaklah lagi pasif.
"Oleh karena itu kaum perempuan ini tidak bisa dilihat selalu di dalam banyak pemberitaan sebagai 'korban dari laki-laki' atau 'diajak laki-laki', karena mereka aktif," terang Aris.
"Jadi mereka membangun jaringan, mendanai, aktif menggerakkan. Jadi mereka aktif. Bukan lagi pasif."
Keaktifan perempuan yang dimaksud Aris ditemukan dalam peran mereka sebagai agen dan aktan yang memproduksi nilai-nilai radikalisme sampai pada titik violent extremism.
"Aktan artinya punya kemampuan yang aktif dalam membangun jaringan dan berpengaruh di dalam jaringan," kata Aris kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Prekaritas, pintu masuk radikalisme
Diatyka Widya Permata Yasih, sosiolog di Universitas Indonesia dan mahasiswi S3 di University of Melbourne melihat prekaritas sebagai sebuah kondisi.
"Artinya sekarang kita berada dalam suatu struktur ekonomi di mana hal-hal semakin tidak pasti dan artinya hampir semua orang, kecuali satu persen yang tidak mengalami prekariatisasi," jelasnya.
Ia mengatakan bahwa keadaan tersebut dapat membuka ruang bagi radikalisasi dan terorisme di lingkungan pekerja.
"Menurut saya kondisi prekaritas turut berdampak pada ketimpangan sosial," kata Diatyka.
"Dan argumen saya adalah hal ini sudah dinormalisasi melihat semakin meluasnya model bisnis yang menyembunyikan kondisi pekerja yang buruk dan meningkatkan ketimpangan sosial."
Aris mengatakan bahwa kondisi prekaritas pada pekerja telah mengizinkan bertemunya ideologi dengan faith (keyakinan) yang dampaknya sangat berbahaya.
"Setelah menjadi prekariat, mereka akan mencari solusi serta menghadapi panik moral. Akhirnya menjawab dengan agama. Di satu sisi ada kekosongan ideologi," katanya.
"Kekosongan ini dijawab dan ditemukan dalam ruang pengajian yang kemudian dibajak oleh kelompok ISIS menjadi ruang yang mampu menciptakan proses ideologisasi dan penguatan yang kita sebut faith."
Pendekatan sekuritisasi bukan jawaban
Usaha pemerintah Indonesia memerangi radikalisme melalui gerakan anti-radikalisme menurut Aris justru menambah narasi baru.
"Pendekatan sekuritisasi justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri karena seolah-olah memberikan narasi bahwa ini adalah marginalisasi," kata dia.
"Pengalaman atau pengetahuan tentang apa yang terjadi secara ideologis bahwa dia (kelompok radikal) dipinggirkan secara politik dapat memperkuat sikap mereka menjadi violent extremism."
Mendengar dari pengalaman orang-orang yang telah ia wawancara, Aris menyimpulkan bahwa penambahan saluran kebudayaan adalah jalan keluar yang lebih cocok.
"Sebagian informan yang sudah kami wawancara sudah sampai di titik radikal," kata Aris.
"Tapi karena banyak saluran kebudayaan yang ia ikuti ketika di Taiwan atau Hongkong, itu mampu mengurangi radikalisme itu sendiri sehingga tidak bergerak ke violent extremism."
"Menurut saya bukan pendekatan sekuritisasi, tapi memperbanyak saluran yang kemudian bisa membawa mereka lagi ke situasi multikultural."
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.