Selasa 12 Nov 2019 16:07 WIB

Naruhito Tutup Ritual Penobatan Bersama Dewi Matahari

Upacara melewatkan malam bersama Dewi Matahari disebut dengan Daijosai.

Kaisra Naruhito dan Permaisuri Masako.
Foto: EPA
Kaisra Naruhito dan Permaisuri Masako.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pada Kamis malam pekan ini, Kaisar Jepang Naruhito akan mengenakan jubah putih bersih dan diantar ke ruang kayu gelap untuk melakukan upacara penobatan utama terakhir. Upacaranya adalah menghabiskan malam dengan seorang dewi.

Amaterasu Omikami, Dewi Matahari, dipercaya kelompok konservatif sebagai nenek moyang kaisar. Upacara melewatkan malam bersama sang dewi yang disebut sebagai "Daijosai" adalah upacara keagamaan yang paling terbuka dari rangkaian ritual pergantian kaisar setelah ayah Naruhito, Akihito, mengundurkan diri.

Baca Juga

Para ahli dan pemerintah mengatakan acara itu merupakan sebuah pesta. Bukan seperti yang telah terus-menerus dikabarkan, merupakan simbol hubungan suami-istri dengan sang dewi.

Meskipun kakek Naruhito, Hirohito, yang atas namanya tentara Jepang bertempur dalam Perang Dunia II, kemudian dilucuti dari kedewaannya, ritual itu berlanjut.

Ritual itu telah memicu kemarahan dan gugatan hukum dari para kritikus yang mengatakan upacara tersebut membuka masa lalu militeristik dan melanggar pemisahan konstitusional antara agama dan negara. Karena pemerintah membayar biaya 2,7 miliar yen (sekitar Rp 347 miliar).

Apa yang terjadi?

Sekitar pukul 19.00, Naruhito dengan diterangi cahaya api memasuki sebuah kompleks kuil yang dibangun khusus. Ia lalu menghilang di balik tirai putih.

Di ruangan yang remang-remang, ia berlutut di depan tikar jerami bertumpuk yang dibungkus kain putih, yang dikatakan sebagai tempat peristirahatan bagi sang dewi. Dua gadis kuil membawa persembahan makanan, dari beras hingga abalone (sejenis kerang), yang akan Naruhito gunakan untuk mengisi 32 piring yang dibuat dari daun ek.

Kemudian, dia membungkuk dan berdoa untuk kedamaian bagi rakyat Jepang sebelum makan nasi, milet (sejenis sereal) dan anggur beras "bersama" sang dewi.

Seluruh ritual diulangi di ruangan lain dan berakhir sekitar pukul 03.00.

Ritual yang sudah lama menjadi sebuah rahasia itu ditampilkan kembali tahun ini oleh televisi publik NHK, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para akademisi mengatakan penayangan upacara itu mungkin merupakan inisiatif pemerintah untuk menghilangkan gunjingan.

"Ada tempat tidur, ada selimut, dan Kaisar menjaga jarak dari itu," kata John Breen dari Pusat Penelitian Internasional Kyoto untuk Kajian Jepang, seraya menambahkan bahwa menghilangkan unsur mistis dari upacara itu bisa jadi merupakan cara pemerintah membela diri.

"Penobatan raja adalah urusan yang sakral, mengubah seorang pria atau wanita menjadi sesuatu selain pria atau wanita," katanya, menunjuk unsur-unsur mistik dalam fungsi penobatan Inggris.

"Jadi penyangkalan pemerintah Jepang bahwa ada sesuatu yang mistis pada peristiwa ini adalah aneh. Tetapi tujuannya cukup jelas untuk menangkis tuduhan bahwa ada sesuatu yang tidak konstitusional terjadi."

Seberapa kuno tradisi itu?

Diyakini telah dimulai pada tahun 700-an dan diamati selama sekitar 700 tahun, ritual itu kemudian terputus selama hampir tiga abad, sebuah celah yang menurut Breen menyebabkan banyak makna aslinya menjadi hilang.

Meskipun diyakini pada awalnya merupakan salah satu upacara penobatan yang kurang penting, upacara tersebut memperoleh status dan bentuknya saat ini dari tahun 1868. Yaitu ketika Jepang mulai mengubah dirinya menjadi bangsa modern, yang disatukan di bawah kaisar.

Mengapa ada kontroversi pendanaan?

Pada sebuah konferensi pers, adik lelaki Kaisar, Putra Mahkota Akishino, bertanya-tanya apakah "tepat" untuk menggunakan uang publik. Ia menyarankan untuk menggunakan dana pribadi dari keluarga kekaisaran, yang akan membuat skala upacara jauh lebih kecil.

Koichi Shin, ketua kelompok beranggotakan 300 orang, mengatakan penggunaan dana pribadi masih tidak memuaskan. Karena dana pribadi masih berupa uang pajak.

Kelompok pimpinan Shinsendiri menuntut pemerintah untuk menghentikan ritual itu, juga ganti rugi masing-masing 10.000 yen(sekitar Rp 1,2 juta) atas rasa sakit dan penderitaan.

Dengan sebagian dari sebuah gugatan ditolak oleh Mahkamah Agung dan satu set lagi akan disidangkan minggu depan, pertarungan di pengadilan sebagian besar bermakna simbolis sementara kekhawatiran soal nasionalisme dan kaisar memudar. Saat suksesi Kaisar Akihito pada tahun 1990, protes dinyatakan lebih keras dan lebih besar, termasuk dengan serangan roket menjelang beberapa ritual, sementara 1.700 orang menggugat di tengah liputan media yang keras.

"Kaisar Hirohito bertanggung jawab atas perang itu, tetapi Akihito telah melakukan banyak hal untuk melunakkan citra keluarga," kata Shin, seorang pekerja kantor berusia 60 tahun.

"Tapi saya pikir menunjukkan upacara-upacara ini di televisi memperkuat ide bahwa kaisar merupakan agama," katanya, dikutip dari Reuters.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement