Rabu 13 Nov 2019 06:58 WIB

Demonstrasi di Lebanon Makan Korban Jiwa

Demonstrasi di Lebanon lebih besar setelah wawancara presiden.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Lebanon Michel Aoun di istana kepresidenan di Baabda, timur Beirut, Lebanon, 24 Oktober 2019.
Foto: Dalati Nohra/Lebanese government via AP
Presiden Lebanon Michel Aoun di istana kepresidenan di Baabda, timur Beirut, Lebanon, 24 Oktober 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Presiden Lebanon Michel Aoun memperingatkan tentang keadaan negara yang sedang menghadapi bencana akibat demonstrasi terjadi, Selasa (12/11). Akibat pernyataan itu, gelombang demonstrasi lebih besar terjadi dan memakan korban jiwa.

"Kami bekerja siang dan malam untuk memperbaiki situasi. Jika mereka terus berjalan, ada bencana. Jika mereka berhenti, masih ada ruang bagi (kita) untuk memperbaiki keadaan," kata Aoun.

Baca Juga

Aoun mengindikasikan tidak ada terobosan dalam pembicaraan mengenai pembentukan pemerintah baru untuk menggantikan kabinet koalisi Saad al-Hariri. Hariri pun tampak ragu-ragu menjadi perdana menteri lagi.

"Jika Anda melanjutkan dengan cara ini, Anda akan menyerang Lebanon dan kepentingan Anda," kata Aoun.

Dalam kesempatan itu, Aoun pun sempat menyinggung demonstran yang tidak kunjung membubarkan diri. Hal ini malah membuat suasana semakin panas, dan membawa masyarakat turun ke jalan, memblokir beberapa jalan utama, dan membakar ban.

Linda Boulos Mikari, pemprotes di jalan utara Beirut, mengatakan, wawancara Aoun di televisi telah membawanya kembali ke jalan. "Kami bosan dengan pihak berwenang yang selalu (bertindak) seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa. Presiden menyiarkan langsung dan berbicara kepada kita seolah-olah kami adalah anak-anak, pulanglah. Hormati kami sedikit," katanya.

Di sela keramaian tersebut, dilaporkan seorang pengunjuk rasa tertembak di kota Khaldeh di selatan ibu kota Beirut. Penyiar Lebanon al-Jadeed mengatakan, pria itu sedang melakukan protes di jalan ketika dia ditembak.

Bergulat dengan krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975 hingga 1990, kali ini Lebanon telah terperosok ke dalam kekacauan sejak protes nasional terhadap elite penguasa meletus pada 17 Oktober. Aksi ini dipicu rencana pemerintah menaikkan pajak baru.

Hariri pun mundur sebagai perdana menteri pada 29 Oktober dalam menghadapi gelombang protes yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat menyerukan tindakan untuk memerangi korupsi yang dilakukan para politisi dan mengarahkan Lebanon ke dalam krisis ekonomi besar.

Bank-bank komersial, yang berusaha menghindari pelarian modal, telah memberlakukan pembatasan ketat pada transfer keuangan dari Lebanon dan penarikan dolar AS. Mereka pun telah ditutup selama selama protes berlangsung dan sejak Selasa, karyawan mogok kerja.

PBB mendesak Lebanon untuk membentuk pemerintah baru yang kompeten yang lebih mampu mencari bantuan internasional. Lebanon diperingatkan atas situasi negara dengan keuangan dan ekonomi yang kritis.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement