REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Dwina Agustin
Juan Evo Morales Ayma lahir 26 Oktober 1959. Ia berasal dari keluarga petani yang mencoba peruntungan berpindah ke Chapare di Bolivia timur. Tanaman yang mereka tanam adalah koka, yang digunakan dalam produksi kokain, tetapi juga merupakan tanaman tradisional di wilayah tersebut.
Morales menghabiskan masa anak-anaknya sebagai pengembala llama di Isallavi, Oruro barat, Bolivia. Tidak ada yang menyangka sosok yang dikenal dengan nama Evo Morales ini akhirnya memimpin buruh Bolivia dan dapat menjabat sebagai presiden Bolivia dari tahun 2006 hingga November 2019. Salah seorang anggota kelompok adat Aymara ini menjadi presiden Indian pertama Bolivia.
Dikutip dari Britannica, Morales sejak awal 1980-an telah aktif dalam serikat penanam koka regional. Posisinya di serikat terus menanjak. Pada pertengahan 1990-an, ketika Pemerintah Bolivia menekan produksi koka dengan bantuan dari Amerika Serikat (AS), Morales membantu mendirikan partai politik nasional bernama Movimiento al Socialismo (MAS). Dia menjadi pemimpin yang mewakili para petani koka.
Morales pun memenangkan kursi di majelis rendah legislatif Bolivia pada 1997. Ia menjadi kandidat MAS untuk pemilihan presiden (pilpres) pada 2002, tetapi kalah tipis dari Gonzalo Sánchez de Lozada.
Dia kembali mencoba pada 2005 dan berhasil menang dengan perolehan 54 persen suara. Kemenangan ini membuatnya menjadi presiden suku Indian pertama di negara itu dan presiden Bolivia pertama sejak 1982 yang memenangkan mayoritas suara nasional.
Awal 2006 Morales mulai memimpin Bolivia. Dia berjanji mendukung kelompok-kelompok pribumi yang terpinggirkan di negara tersebut, mulai dari mengurangi kemiskinan di antara penduduk India di negara itu, mengurangi pembatasan pada petani koka, meremajakan kembali sektor energi negara itu, memerangi korupsi, hingga meningkatkan pajak bagi orang kaya.
Kepemimpinan Morales sempat akan dilengsengkar pada 2008. Ketika itu reformasi kepemimpinannya mendapatkan tentangan dari provinsi-provinsi kaya Bolivia karena undang-undang perampasan tanah tidak produktif dari pemilik yang tidak jelas dan tidak memberikan redistribusi kepada orang miskin.
Kondisi itu membuat ketegangan meningkat dan terjadilah demonstrasi besar. Beberapa momen demonstrasi menjadi kekerasan, meningkat di seluruh negeri. Referendum tentang kepemimpinan Morales diadakan pada Agustus 2008. Namun, dua pertiga pemilih mendukung ia melanjutkan masa kepresidenannya. Kekuatannya bertambah ketika partainya pun memenangkan suara untuk dua majelis kongres.
Untuk melanjutkan masa jabatannya ke periode ketiga, pada 2013 pengadilan konstitusional Bolivia memutuskan memberikan izin kepada Morales mencalonkan diri untuk pilpres 2014. Morales kemudian mengklaim kemenangan bahkan di wilayah-wilayah orang kaya, yang biasanya memihak oposisi.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat telah membuat Morales menjadi potret sukses untuk sosialisme. Namun, penolakannya terhadap batasan masa jabatan telah memicu protes jalanan dengan beberapa orang menyebutnya sebagai diktator.
Pada 2015 ekonomi Bolivia yang kuat mulai melambat secara signifikan. Sebagian besar merupakan respons terhadap penurunan harga minyak bumi dan gas alam dunia. Morales pun sempat tersenggol skandal korupsi meski pemerintah telah menyangkalnya.
Penentang presiden Bolivia Evo Morales membakar peti mati sebagai simbol matinya pemerintahan Morales di La Paz, Bolivia, Ahad (10/11).
Masyarakat pun mulai bergerak untuk mencegah Morales kembali memimpin dengan melakukan referendum pada Februari 2016. Hasilnya pun menyatakan Bolivia menolak perubahan konstitusional yang memungkinkan Morales mencalonkan diri untuk masa jabatan berikutnya dalam pilpres 2019.
Namun, nyatanya gerak Morales lebih kuat. MAS meminta pengadilan konstitusional menghapus batas masa jabatan presiden dengan alasan batasan masa jabatan melanggar hak asasi manusia. Permintaan itu dikabulkan. Bahkan, Mahkamah Agung Pemilu menguatkan keputusan itu sehingga dia bisa melenggang kembali pada pencalonan keempat kali.
Dalam pilpres kali ini, Morales mulai tergoyahkan. Kemenangannya diduga dicemari kecurangan, membuat demonstrasi besar di ibu kota La Paz hingga wilayah lain. Korban berjatuhan sehingga banyak pihak yang mendorongnya untuk mundur dari jabatan.
Saat kecil, penggembala llama ini mungkin tak pernah membayangkan akan duduk di kursi presiden sekian lama. Sosok penggemar pakaian alpaka bersulam ini juga tak pernah membayangkan akan dipaksa mengakhiri jabatannya.
Puncak tekanan datang ketika militer yang awalnya mendukung Morales justru berbalik memintanya melepaskan jabatan presiden. Dia pun akhirnya mengumumkan pengunduran diri pada Ahad (10/11). Berikutnya, ia memutuskan pergi ke Meksiko untuk mendapatkan suaka, meninggalkan Bolivia yang terseok-seok. n reuters ed: yeyen rostiyani