REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pengadilan Tinggi memberi kesempatan Kardinal George Pell kesempatan terakhir memperjuangkan hukumannya atas pelanggaran pelecehan seksual anak. Pengadilan Tinggi telah setuju mendengar bandingnya.
Saat ini, pria berusia 78 tahun itu sedang menjalani hukuman penjara enam tahun. Keputusan itu diketuk setelah juri dengan suara bulat menyatakan dia melakukan pelecehan seksual terhadap dua anak anggota paduan suara ketika menjadi uskup agung Melbourne pada pertengahan 1990-an.
Permohonan cuti khusus untuk mengajukan banding dipertimbangkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi James Edelman dan Michelle Gordon. Keputusan mereka didasarkan pada pengajuan dari kedua belah pihak sebelum aplikasi cuti khusus.
Para hakim memutuskan persidangan lisan tidak diperlukan, merujuk kasus berdasarkan pengajuan tertulis. Sidang pun tidak akan terjadi sampai tahun depan.
Pell, seorang Katolik berkedudukan tertinggi di Australia, harus menjalani hukuman minimum tiga tahun dan delapan bulan. Saat ini, dia telah menjalani hukuman penjara selama delapan bulan.
Namun, mantan penasihat Paus itu mengalami kondisi kesehatan yang buruk. Kemungkinan besar dia bisa meninggal di penjara dengan hukumannya saat ini.
Pada Desember 2018, juri menghukum Pell karena melakukan pelecehan seksual terhadap dua anggota paduan suara berusia 13 tahun. Tuduhan ini diberikan atas dasar bukti yang diberikan oleh satu-satunya korban yang masih hidup.
Tawaran Pengadilan Tinggi adalah kesempatan terakhir pengacara Pell untuk membersihkan namanya, setelah Pengadilan Banding Victoria menguatkan putusan juri pada Agustus. Ketua Pengadilan Victoria Anne Ferguson dan Ketua Pengadilan Tinggi Chris Maxwell menemukan pengadu itu benar dan menolak banding.
Namun, Hakim Mark Weinberg menentang keputusan itu. Dia menyatakan penolakan itu tidak dapat diterima karena terdapat perbedaan pandangan.
Advokat korban Chrissie Foster menggambarkan keputusan Pengadilan Tinggi sangat mengecewakan. "(Korban pelecehan]) akan merasakan hal yang sama. Mereka akan merasa sangat kecewa izin ini telah diberikan dan itu akan terus berlanjut," katanya dikutip dari ABC.
Korban pelecehan Ballarat Stephen Woods mengatakan, keputusan Pengadilan Tinggi akan menyebabkan lebih banyak rasa sakit bagi para penyintas. "Saya pikir, 'oh sayang, ada begitu banyak yang selamat yang berada di ujung tanduk'," kata Woods.
Pell dihukum karena menyerang anak-anak lelaki itu di Katedral St Patrick pada pertengahan 1990-an, setelah merayakan salah satu misa Minggu pertamanya sebagai uskup agung. Dia juga dihukum karena kembali melakukan pelecehan pada salah satu anak laki-laki untuk kedua kalinya, dua bulan kemudian.
Bukti pelecehan itu datang hanya dari salah satu anggota paduan suara. Korban lainnya meninggal pada 2014 dan tidak pernah mengajukan keluhan kepada keluarga atau polisi.
Bukti korban yang masih hidup diberikan di pengadilan tertutup dan dia tidak dapat diidentifikasi. Mantan anggota paduan suara itu mengatakan kepada pengadilan, Pell menangkapnya dan seorang teman kemudian menenggak anggur altar di sakristi imam, ruangan yang digunakan oleh para imam untuk berganti jubah.
Momen selanjutnya Pell memaksa anak-anak itu untuk melayaninya. Dia melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mereka. Dua bulan kemudian, Pell melakukan penganiayaan dalam sebuah insiden singkat di sebuah koridor di belakang katedral setelah misa.