REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana kepresidenan tak mempermasalahkan status mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, sebagai mantan narapidana yang digadang-gadang bakal memimpin salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman menjelaskan, dalam pengangkatan direksi dan dewan komisaris perusahaan tidak ada persyaratan khusus mengenai status hukum seseorang yang pernah terjerat pidana.
"Tidak ada persyaratan itu secara langsung di dalam ketika kita dipanggil untuk masuk sebagai dekom (dewan komisaris) atau direksi," kata Fadjroel di Istana Negara, Rabu (13/11).
Fadjroel sendiri berkaca pada posisinya saat ini yang juga duduk sebagai Komisaris Utama PT Adhi Karya. Menurut dia, kasus hukum yang akan jadi bahan pertimbangan pemilihan direksi atau dewan komisaris adalah kasus-kasus korupsi atau gratifikasi. Alasannya, catatan korupsi dikhawatirkan akan mengganggu kinerja perusahaan.
"Menurut saya, mereka yang pernah terbukti secara hukum melakukan tindakan, gratifikasi, atau korupsi, tentu itu menjadi halangan bagi BUMN untuk berkembang," katanya.
Fadjroel berharap siapa pun orang yang nantinya akan digandeng Menteri BUMN Erick Thohir untuk duduk di kursi penting salah satu BUMN merupakan orang yang bersih. "Jadi, kalau mau masuk BUMN, masuk bersih, di dalam bersih-bersih dan keluar bersih. Begitu saja," katanya.
Ahok sendiri pernah menjalani masa hukuman atas kasus penodaan agama selama satu tahun delapan bulan dan 15 hari. Ahok bebas dari Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada Januari 2019 ini.