REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmum Nawawi
Di Kota Bashrah, ada seorang ahli ibadah yang —karena kecemasan dan ketakutannya pada Allah— sangat zuhud. Tangisannya yang terus-menerus mengundang datangnya penyakit padanya, hingga akhirnya menjadi kurus. Ketika berada dalam kondisi kritis (sakaratul maut), sanak keluarganya pun berkumpul, duduk mengitarinya sambil menangis. “Mendekatlah padaku,” ujarnya pada mereka.
Ia bertanya kepada bapaknya, gerangan apa yang menyebabkan ayahnya menangis. “Duhai anakku, ayah sedih kalau kamu tiada dan ayah menjadi sendiri jika engkau pergi,” jawab sang ayah. Kemudian dia menoleh ke arah ibunya, menanyakan hal serupa. “Karena menelan pahit dan getirnya se orang yang kehilangan anak,” jawab sang bunda.
Kemudian ia menghadapkan wajahnya kepada istrinya dan mengajukan pertanyaan yang sama seperti pada kedua orang tuanya. Istrinya menjawab, “Karena akan kehilangan kebaikanmu, padahal aku sangat menghajatkanmu un tuk orang-orang selain engkau (anak).”
Kemudian dia menoleh ke arah anak-anaknya, seraya bertanya, “Mengapa kalian menangis?” Jawab mereka, “Karena nista dan hinanya seorang yatim setelah engkau pergi.” Setelah itu, lelaki tersebut memandang mereka dan kemudian menangis. Keluarganya pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”
Akhirnya, lelaki itu pun berkata, “Aku menangis, karena kulihat kalian semua menangis untuk kalian masingmasing, bukan untuk aku. Siapa di antara kalian yang menangis karena panjangnya perjalananku? Siapa di antara kalian yang menangis karena minimnya bekalku? Siapa di antara kalian yang menangis karena tempat pembaringanku dalam tanah? Siapa di antara kalian yang menangis karena buruknya perhitungan yang akan ku hadapi? Siapa di antara kalian yang menangis karena perhentianku di hadapan Rabbul Arbab (Allah)?” Setelah itu, ia terkulai lemas dan akhirnya pergi menghadap Rabbnya.
Satu episode akhir kehidupan yang sangat indah, ketika seorang ahli ibadah dan zuhud itu menghadap Tuhannya. Bukan hanya jiwa raganya yang siap bertemu dengan Kekasihnya (Allah) — sebagaimana tersimbol dari serangkaian pertanyaannya— tapi juga ia ingin menorehkan pesan agung untuk orang-orang yang dicintainya, sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi.
Ketika orang-orang di sekelilingnya menangisi kepergiannya, sebaliknya si ahli ibadah justru tersenyum lantaran sudah memiliki bekal menuju akhirat. Sebuah syair Arab mungkin cocok melukiskan kematian ahli ibadah ini.
“Hai Ibnu Adam, ibumu sudah melahirkanmu. Kala itu, kamu menangis. Sementara orang-orang di sekitarmu tertawa penuh sukacita. Maka beramallah untuk dirimu, sehingga jika mereka menangis pada saat kematianmu, engkau justru tertawa penuh bahagia.”
Berkaca dari kisah di atas, kuncinya adalah kesadaran akan adanya kehidupan setelah kematian ini. Malik bin Dinar berkata, “Seandainya segenap makhluk tahu perihal apa yang bakal mereka hadapi esok hari (hidup sesudah mati), niscaya mereka tidak akan mencecap nikmatnya kehidupan selamanya.”