REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Amerika Serikat (AS) pada Selasa (12/11). Ia akan mengadakan pembicaraan dengan Presiden AS Donald Trump.
Erdogan dan Trump dijadwalkan menggelar pertemuan bilateral di Gedung Putih pada Rabu (13/11). Setelah itu mereka akan mengadakan konferensi pers bersama.
Dalam pertemuan dengan Trump, Erdogan diprediksi akan membahas beberapa isu, satu di antaranya adalah tentang operasi militer yang dilakukan Turki di wilayah timur laut Suriah pada Oktober lalu.
Dalam operasi tersebut, Ankara mengincar pasukan Kurdi yang dianggap membahayakan keamanan perbatasannya. Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi adalah salah satu kelompok yang menjadi target operasi militer Turki.
SDF merupakan sekutu AS dalam memerangi milisi ISIS di Suriah. Washington tak hanya memasok persenjataan, tapi juga memberi mereka pelatihan.
Tindakan tersebut sempat membuat hubungan Turki dan AS memanas. Saat melakukan operasi militer di Suriah Oktober lalu, AS sempat melayangkan kecaman.
Reaksi politik di AS terus membara seiring Turki melanjutkan operasi militernya. Banyak pihak yang meragukan proyeksi hubungan baik kedua negara pada masa mendatang.
"Ini adalah salah satu poin terendah dalam hubungan historis AS-Turki. Tak heran mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin telah menjalin kemitraan erat dengan Erdogan dengan biaya keanggotaan strategis Turki di NATO," kata profesor hubungan internasional di London School of Economics Fawaz Gerges, dikutip laman Aljazirah.
Selain soal Suriah, Erdogan dan Trump diperkirakan akan membahas tentang keputusan Turki membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia. Langkah tersebut telah dikritik keras oleh Washington.
AS bahkan sempat mengancam akan menjatuhkan sanksi pada Turki. Namun, Erdogan menegaskan ancaman tersebut tak akan menghentikannya membeli sistem pertahanan udara S-400.