REPUBLIKA.CO.ID, LA PAZ -- Bentrokan baru mengguncang ibu kota Bolivia, La Paz, Rabu (13/11). Pendukung mantan presiden Evo Morales tidak tinggal diam setelah anggota parlemen Jeanine Anez menyatakan diri sebagai presiden sementara.
Sehari setelah Anez mengklaim sebagai presiden, bentrokan sengit terjadi antara pendukung Morales dan polisi. Pengunjuk rasa melempar batu dengan menggunakan senjata antihuru-hara.
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Jet tempur pun terbang rendah di atas kepala demonstran sebagai upaya unjuk kekuatan.
Di jalan-jalan, para demonstran yang marah merobek lembaran-lembaran logam dan papan kayu bergelombang dari lokasi konstruksi untuk digunakan sebagai senjata. Banyak yang membanjiri jalan-jalan di ibu kota dan sekitarnya, seperti El Alto. Mereka mengibarkan bendera pribumi beraneka warna dan meneriakkan, "Sekarang, perang saudara!"
"Kami tidak ingin ada diktator. Wanita ini telah menginjak kami, itu sebabnya kami sangat marah," kata pendemo Paulina Luchampe.
Luchampe menyatakan, demonstran akan bertahan sampai Morales kembali ke Bolivia. "Kami meminta dia kembali. Dia perlu membereskan rumah," ujarnya merujuk pada kepergian Morales ke Meksiko untuk mendapatkan suaka.
Pendukung Morales pun pasang badan di Kongres. Anggota parlemen yang setia kepada Morales mempertanyakan legitimasi Anez. Mereka mencoba mengadakan sesi baru yang akan bisa menggagalkan klaimnya sebagai presiden.
Sesi itu menambah ketidakpastian politik setelah pemecatan Morales, pemimpin adat pertama setelah hampir 14 tahun berkuasa. Namun, sesi tersebut pun diberhentikan oleh faksi Anez sebagai tindakan yang tidak sah dilakukan.
Menurut konstitusi, presiden sementara memiliki 90 hari untuk menyelenggarakan pemilihan. Sosok yang sebelumnya menjabat wakil presiden kedua Senat ini harus segera bekerja menggelar pemilihan presiden. Namun, pendukung Morales, yang memegang mayoritas dua pertiga di Kongres, memboikot sesi untuk meresmikan klaimnya sebagai presiden sehingga mencegah kuorum.
Anez tetap mengambil alih kekuasaan dengan dalih konstitusi tidak secara khusus memerlukan persetujuan kongres. "Komitmen saya adalah mengembalikan demokrasi dan ketenangan ke negara ini. Mereka tidak akan pernah lagi mencuri suara kita," ujarnya.
Pengadilan konstitusional tertinggi Bolivia mengeluarkan pernyataan yang menguraikan pembenaran hukum bagi Anez yang memegang kursi kepresidenan pada Selasa malam. Namun, para ahli hukum lainnya menantang teknis hukum yang mengarah pada klaimnya. Mereka mengatakan, setidaknya beberapa langkah mengharuskan Kongres untuk bertemu.
Pakar politik Bolivia di Florida International University Eduardo Gamarra mengatakan, konstitusi dengan jelas menyatakan Anez tidak memerlukan pemungutan suara kongres untuk memangku jabatan kepresidenan. "Dua bulan ke depan akan menjadi sangat sulit bagi Presiden Anez," katanya.
Profesor ilmu politik dan studi Amerika Latin di University of Arizona Jennifer Cyr menyatakan, sepertinya tidak mungkin pendukung Morales akan menerima klaim presiden Anez. "Jadi pertanyaan tentang apa yang terjadi selanjutnya tetap masih sangat tidak jelas dan sangat mengkhawatirkan," ujarnya.
Untuk memperkuat posisi sebagai kepala negara, Anez pun memilih mengganti panglima tertinggi militer Williams Kaliman dengan Carlos Orellana. Langkah itu dilihat sebagai upaya membangun aliansi dengan militer, meskipun tidak pasti berapa banyak dukungan yang bisa diandalkan dari pusat-pusat kekuatan Bolivia lainnya.