REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mencatat kenaikan volume ekspor nikel pada periode September dan Oktober. Tren yang terlihat dari pertumbuhan bea keluar secara year on year ini terjadi pasca isu moratorium disampaikan pemerintah pada dua bulan lalu.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mencatat, penerimaan dari bea keluar nikel pada September 2019 mengalami pertumbuhan 191 persen dibandingkan September 2018. Apabila dinominalkan, nilai kenaikannya hampir Rp 170 miliar. Pertumbuhan lebih tinggi dirasakan pada Oktober yang mencapai 298 persen (yoy).
"Kenaikan bea keluarnya lebih dari Rp 300 miliar," ucapnya dalam acara Media Gathering di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Rabu (13/11) malam.
Sementara itu, secara total, penerimaan dari bea keluar nikel sampai dengan akhir Oktober mencapai Rp 1,1 triliun. Angka ini berkontribusi besar terhadap total penerimaan bea keluar yang diterima DJBC Kemenkeu pada periode yang sama, yakni Rp 2,87 triliun.
Heru menjelaskan, nilai penerimaan dari bea keluar komoditas nikel pada tahun ini akan jauh melebihi tahun lalu. Sepanjang 2018, nilai yang didapatkan pemerintah adalah Rp 659 miliar. Artinya, hingga akhir Oktober 2019, terjadi pertumbuhan sekitar 66 persen dari komponen ini.
“Sebelum September, masih relatif sama pertumbuhannya. Pascamoratorium, beberapa perusahaan meningkatkan ekspor,” tuturnya.
Diketahui, pemerintah berencana melaksanakan moratorium ekspor bijih nikel kadar rendah (ore) pada Januari 2020. Rencana ini lebih cepat dari target semula, yakni tahun 2022. Bahkan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sempat menyebutkan percepatan dari kebijakan tersebut.
Sampai saat ini, Heru menjelaskan, pemerintah masih dalam proses evaluasi ekspor nikel. Hasil akhirnya, sembilan perusahaan tambang sudah dapat kembali dapat melakukan ekspor ore nikel setelah sempat terhenti pasca pengumuman larangan ekspor oleh Kepala BKPM Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu.
Heru menuturkan, kesembilan perusahaan itu dipastikan sudah memenuhi syarat dan verifikasi yang dilakukan secara sinergi antar kementerian dan lembaga. Di antaranya, Kemenkeu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No. ND-1076/BC/2019.
Kini, masih ada dua perusahaan yang masih membutuhkan evaluasi pendalaman lebih lanjut. Heru menyebutkan, pihaknya bersama kementerian/ lembaga terkait masih melakukan review dari kegiatan hulu hingga hilir. "Dalam satu sampai dua pekan, mudah-mudahan sudah ada hasil," katanya.