REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, dapat menginspirasi sel teroris maupun lone wolf baru.
Untuk itu, menurut Fahmi, pemerintah harus menyelesaikan akar persoalan yang menyebabkan seseorang bertindak kekerasan ekstrem tersebut.
"Membangkitkan, dan sekurang-kurangnya menginspirasi bukan hanya sel tidur, tapi juga sel baru maupun lone wolf," kata Fahmi saat dihubungi, Kamis (14/11).
Ia menyebutkan, jika diagnosa, pendekatan, resep, dan terapi untuk menghadapi lone wolf keliru, maka masyarakat akan terus menerima risiko hidup berdampingan dengan ancaman teror.
Baginya, apa yang terjadi di Polrestabes Medan merupakan tindak kejahatan kekerasan ekstrem, bukan tindakan radikalisme. "Dan tak ada yang berubah dari kejahatan seperti ini, di belahan bumi manapun terjadinya. Dia banal, ekstrem, akibat ketidakberpikiran dan kegagalan self-dialog," jelas dia.
Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo (tengah) saat konferensi pers pengungkapan identitas pelaku ledakan bom Polrsetabes Medan, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (13/11).
Fahmi pun meragukan persoalan lone wolf dapat diselesaikan dengan mudah jika pemerintah terus ngotot mengatakan tindakan-tindakan itu sebagai bentuk radikalisme dan deradikaliasi adalah resep obatnya.
Ia tetap berpegang teguh apa yang terjadi di Medan adalah soal kekerasan ekstrem bukan radikalisme.
Menurut Fahmi, akar persoalan kekerasan ekstrem ialah hilangnya harapan dan bagaimana mereka kemudian mereka dipertemukan dengan harapan yang keliru, palsu. Ditambah lagi dengan suplemen amarah, kebencian, dan dendam.
Ia menuturkan, harapan palsu itu menyodorkan obat yang memanipulasi dan menggiring orang-orang tersebut pada persepsi mereka telah dijahati, diperlakukan tidak adil, dibodohi, bahkan dimiskinkan. Disebutkan pula, semua itu harus dibalas dan dilawan.
"Propaganda dan hasutan ini yang kemudian membuat mereka, lantas merasa kehadirannya di dunia kembali bermakna. Nah pemerintah, agama, dan lingkungan mestinya bisa mengambil bagian dari upaya memastikan selalu ada harapan untuk masyarakat," kata dia.
Ia menjelaskan, setiap orang berpotensi memiliki deprivasi relatifnya sendiri. Deprivasi relatif merupakan keadaan psikologis di mana seseorang merasakan ketidakpuasan yang subjektif pada keadaan diri dan kelompoknya di bandingkan dengan kelompok lain.
"Ada yang mampu mengelolanya, tapi tidak sedikit pula yang gagal. Soal ekonomi msalnya, kaya dan mapan bukan berarti mereka pasti jadi medioker, pragmatis bahkan oportunis. Tapi miskin juga bukan selalu berarti inferior, kecewa, galau, pesimis," katanya.