REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Jikalahari Riau untuk kesekian kalinya meminta kebijakan Gubernur Riau Syamsuar agar mempublikasikan perusahaan-perusahaan pembakar lahan. Publikasi sebagai upaya menekan kasus kebakaran hutan dan lahan yang sama tidak lagi terjadi pada 2020.
"Sebab temuan Jikalahari Hasil analisis hotspot melalui satelit Terra-Aqua Modis Januari–Oktober 2019 menunjukkan hotspot dengan confidence di atas 70 persen ada 4.065 titik dan 1.504 titik hotspot berada di korporasi HTI dan sawit," kata Koordinator Jikalahari Riau Made Ali, dalam keterangannya di Pekanbaru, Jumat (15/11).
Jikalahari menyampaikan permintaan itu setelah menilai bahwa gubernur Riau selama 250 hari gagap menghadapi karhutla. Akibatnya, lebih 300 ribu orang terkena ISPA, 3 orang diduga meninggal akibat terpapar asap hingga menimbulkan kerugian lebih Rp 50 triliun.
Menurut dia, jika dikaitkan dengan komitmen Riau Hijau berupa memperbaiki tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan, Gubernur Riau membuat kebijakan yang layak diapresiasi.
Misalnya, ia mengatakan, untuk pertama kali Gubernur Riau menerbitkan kebijakan terkait karhutla di areal korporasi segel dan membekukan izin lingkungannya. "Tinggal Gubernur Riau mengumumkan nama-nama perusahaan yang lahannya dibakar itu," kata Made Ali.
Selain melakukan analisis hotspot, katanya, Jikalahari juga melakukan investigasi sepanjang 2019 untuk mendapatkan fakta lapangan yang terjadi. Hasilnya ditemukan kebakaran terjadi di wilayah korporasi hutan tanaman industri dan korporasi sawit. Perusahaannya adalah PT Sumatera Riang Lestari, PT Rimba Rokan Lestari, PT Satria Perkasa Agung, PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Surya Dumai Agrindo.
Tim satgas penertiban sawit ilegal mulai menyasar 10 perusahaan sawit di Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu. Selain itu, menargetkan dalam dua tahun ada 138 ribu hektar izin PS diserahkan kepada masyarakat di Riau dan memasukkan usulan penanggulangan abrasi di tiga pulau ke dalam RPJMN 2020–2024.
Dana awal yang dikucurkan sebesar Rp160 milyar dari total Rp2,1 triliun. "Namun persoalannya Jikalahari menilai Syamsuar-Eddy Natar belum dapat mengatasi persoalan mendasar terkait tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau," kata dia.
"Seperti di tengah karhutla Gubernur Riau sibuk memadamkan api, abai pada warga, surat permohonan evakuasi satwa liar tidak direspon, SK tentang rencana aksi daerah pemberantasan korupsi terintegrasi tahun 2018 dan 2019 serta satuan tugas pelaksana rencana aksi, Gubri ke RAPP setelah disegel Gakkum KLHK," katanya.
Selain itu, gubernur Riau belum menerbitkan 3 Pergub pelaksana Perda 14 tahun 2018 tentang pedoman pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, belum menerbitkan 8 Pergub pelaksana Perda 6 tahun 2018 tentang penyelenggaraan perkebunan, rekomendasi 100 hari yang belum dijalankan Syamsuar, Riau Hijau dalam RPJMD dan TRGD tidak melakukan restorasi di Riau.
"Kebijakan Syamsuar secara dampak belum dapat dilihat dan diukur. Dalam pengambilan kebijakan dan menjalankan pemerintahan, masih belum memprioritaskan keselamatan warga akibat dari rusaknya lingkungan hidup di Provinsi Riau. Kebijakan yang diambil masih bersifat parsial dan belum menyeluruh," kata Made.
Karna itu, meminta gubernur Riau agar membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang salah satu tugasnya sebagai pusat informasi Riau Hijau, termasuk wadah bagi masyarakat yang hendak mengusulkan konsep Riau Hijau.
Mempublikasikan daftar perusahaan yang telah disegel dan izin lingkungan yang sudah dicabut yang terbakar sepanjang 2019 sebagai wujud mengimplementasikan SE No. 335/SE/2019. Mempublikasikan daftar perusahaan hasil dari kinerja tim satgas penertiban sawit ilegal.