Sabtu 16 Nov 2019 13:00 WIB

Tiga PR Utama Pengembangan Wisata Halal Indonesia

Wisata halal memiliki potensi besar dalam mendorong peningkatan ekonomi.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Wisata Halal
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Wisata Halal

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) Riyanto Sofyan menyebut sejumlah faktor yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) dalam pengembangan wisata halal di Indonesia. Faktor pertama ialah meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat hingga pelaku usaha wisata mengenai segmentasi wisata halal.

Riyanto menilai masih banyak kesalahpahaman tentang konsep wisata halal yang hanya sebatas pada aspek keagamaan. Padahal, segmentasi wisata halal memiliki potensi besar dalam mendorong peningkatan ekonomi. Nyatanya, sejumlah negara dengan penduduk mayoritas nonmuslim pun tak melewatkan kesempatan dengan memanjakan wisatawan mancanegara (wisman) muslim lewat fasilitas layanan pariwisata yang menunjang kebutuhan mereka.

Baca Juga

"Pemahaman ini harus digencarkan bahwa ada potensi ekonomi yang terus tumbuh. Kita harus kejar agar tak ketinggalan," ujar Riyanto dalam Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (15/11).

Faktor kedua ialah strategi pemasaran yang lebih tepat sasaran. Riyanto memandang selama ini upaya promosi mengenai destinasi wisata halal Indonesia belum maksimal. Riyanto menilai potensi wisata halal Indonesia yang begitu indah akan sia-sia jika tidak dibarengi strategi pemasaran yang tepat.

Riyanto mengambil contoh Malaysia yang tidak memiliki banyak destinasi semenarik dan sebanyak Indonesia. Namun kenyataannya, banyak wisman muslim tertarik berkunjung ke Negeri Jiran tersebut.

"Pengembangan pemasaran harus kita lakukan. Malaysia hanya ada Kuala Lumpur dan Bukit Bintang tapi efektif karena jualannya keluar (negeri), sedangkan kita jualan ya ke kita-kita saja (dalam negeri)," ucap Riyanto.

Faktor ketiga terkait aksesibilitas yang dinilai krusial. Bicara aksesibilitas erat kaitannya dengan seberapa mudah wisatawan datang ke sebuah destinasi dari negaranya. Dalam titik ini, peran penerbangan langsung menjadi sangat menentukan.

"Sekarang penerbangan antarkota di Indonesia jauh lebih mahal dibanding penerbangan keluar negeri, tidak tahu masalah di mana tapi itu jadi suatu tantangan," ucap Riyanto.

Riyanto menyampaikan keberhasilan Thailand yang mampu mendatangkan lima juta wisman muslim pada 2019 atau dua juta wisman muslim lebih banyak dari Indonesia tak lepas dari padatnya lalu lintas penerbangan langsung dari berbagai negara di timur tengah ke Thailand.

Sebagai perbandingan, Bandara Internasional Phuket di Thailand telah memiliki penerbangan langsung dari Dubai dan Abu Dhabi di Uni Emirat Arab (UEA), Doha di Qatar, hingga Istanbul, Turki.

Hal ini berbeda dengan konektivitas ke Pulau Lombok. Lombok sebagai salah satu contoh sukses pengembangan wisata halal Indonesia menurut Riyanto masih relatif sedikit penerbangan langsung dari luar negeri. Selama ini, Bandara Internasional Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya melayani penerbangan langsung dari Malaysia dan Singapura.

Meski begitu, Riyanto mengapresiasi upaya pemerintah yang memberikan insentif sebesar Rp 15 miliar dalam terhubungnya Lombok-Australia lewat maskapai AirAsia pada tahun ini.

Riyanto menilai pemberian insentif memang perlu dilakukan guna membuka penerbangan baru ke destinasi wisata halal Indonesia. Toh, pengeluaran tersebut akan meningkat dua puluh hingga 200 kali lipat dari pengeluaran wisman yang datang. Tanpa adanya insentif, kata Riyanto, manajamen maskapai cenderung berat dalam membuka penerbangan internasional baru.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement