Tak mudah menyajikan film yang diadaptasi dari kejadian nyata. Dari sisi plot, film yang diadaptasi dari kisah nyata tentu akan memiliki akhir yang lebih mudah ditebak. Selain itu, mengemas kejadian nyata yang aslinya mungkin bisa bertahun-tahun dalam film berdurasi hanya beberapa jam, tentu bukan perkara membalikkan telapak tangan.
Sebagai suatu film yang berasal dari suatu peristiwa sejarah, maka indikator yang wajib dipenuhi ialah membuat para penonton dari film itu ingin lebih tahu kejadian asli yang sebenarnya. Inilah yang berhasil dipenuhi oleh film drama olahraga terbaru, Ford v Ferrari (2019) yang mulai tayang di bioskop Indonesia mulai Jumat (15/11).
Mengambil tema persaingan antara dua raksasa otomotif, Ford dan Ferrari. Film ini diadaptasi dari kisah nyata upaya Ford, perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, untuk bisa berjaya di arena balapan demi mendompleng penjualan mobil mereka.
Digarap oleh James Mangold yang sebelumnya juga menyutradarai Logan (2017), 3:10 to Yuma (2007) dan Walk the Line (2005), film ini berfokus pada dua karakter, yakni Carroll Shelby (diperankan oleh Matt Damon) dan Ken Miles (Christian Bale).
Ken Miles adalah pembalap Inggris yang tidak begitu diketahui oleh publik. Film ini sendiri menjadi salah satu pengungkapan fakta sebenarnya, bagaimana kisah sang pahlawan yang tak dikenal dan akhir tragis dari pembalap dengan sikap urakan dan liar itu.
Sementara Shelby adalah mantan juara balap asal Amerika Serikat, yang beralih menjadi kepala tim dan pengembang mobil Shelby Automobiles, perusahaan yang direkrut untuk memenuhi ambisi Ford menguasai lintasan balap.
Kisah bermula ketika Henry Ford II (diperankan oleh Tracy Letts), CEO dari Ford menginginkan agar penjualan mobilnya bisa meningkat. Lee Iacocca (John Bernthal), Wakil Presiden dari Ford untuk bidang pemasaran, akhirnya memiliki ide untuk menjadikan Ford tidak hanya sebagai mobil penumpang, namun masuk arena balap.
Awalnya, Ford ingin mengakuisisi Ferrari, perusahaan otomotif asal Italia yang dikenal berhasil memproduksi mobil balap terbaik, namun sedang dalam kesulitan keuangan. Kesepakatan akuisisi menjadi berantakan setelah Ford tak mengizinkan Enzo Ferrari (Remo Girone) memegang kendali atas divisi mobil balap. Ferrari akhirnya diakuisisi oleh FIAT, perusahaan otomotif Italia lainnya.
Merasa tersinggung, Ford akhirnya memutuskan untuk memproduksi sendiri mobil balapnya. Disitulah Iacocca merekrut Shelby, mantan pembalap Amerika yang berhasil menjuarai balapan uji ketahanan 24 Hours of Le Mans di musim 1959. Iacocca lalu mengajak Miles, pembalap dengan kemampuan untuk mengembangkan mobil yang memiliki sikap sulit diatur.
Pada akhirnya, film ini memperlihatkan bahwa ajang balapan sebenanrya bukan hanya soal aksi kebut-kebutan untuk merebut gelar juara semata, namun soal industri, harga diri, politik dan bisnis. Miles yang sebelumnya juga pernah menjadi tentara untuk Inggris di Perang Dunia II, akhirnya kembali hanya menjadi pion dan ujung-ujungnya korban dari ambisi Ford itu sendiri.
Baca Juga: Review Charlie's Angels, Begitu-Begitu Saja
Pujian layak diberikan kepada James Mangold, sang sutradara. Dirinya mampu mengemas film dengan durasi 152 menit itu dengan intensitas penuh sepanjang film. Jika tidak dengan aksi balapan, maka penonton juga diajak untuk lebih mendalami sisi manusiawi dari Miles dan Shelby.
Sama seperti Rush (2013), Ford v Ferrari (2019) juga berhasil menghadirkan suasana kompetisi balap dalam sebuah film layar lebar. Mangold berhasil mengajak penonton untuk seolah-olah berada di balik kemudi mobil Daytona dan 24 Hours of Le Mans, tentu dengan bumbu-bumbu dramatis ala Holywood.
Kredit juga layak diberikan kepada sinematografer asal Yunani, Phedon Papamichael, yang mampu menghidupkan suasana film menjadi seperti di dalam sirkuit.
Untuk aksi Damon dan Bale, keduanya kembali membuktikan diri sebagai aktor serba bisa. Damon berhasil menjiwai peran Shelby, bagaimana dirinya berpikir dan mengambil keputusan.
Begitu pula dengan Bale yang kini kembali ke aksen British aslinya, dengan gaya urakan seperti para hooligan Inggris yang nekat dan liar. Chemistry antara keduanya dengan bumbu-bumbu komedi juga menghadirkan ikatan emosional yang bisa dirasakan penonton.
Kehadiran Jon Bernthal, Tracy Letts dan Josh Lucas yang berperan sebagai Leo Beebe, juga tak sekadar menjadi pelengkap dalam film. Letts berhasil menunjukkan sosok Henry Ford, orang Amerika asli yang memilik sikap tak mau kalah dan rakus.
Sementara Bernthal dan Lucas juga sebagai eksekutif yang ujung-ujungnya asal bapak senang. Mereka berhasil menggambarkan keadaan patriarki di industri besar seperti otomotif AS.
Pada akhirnya, film ini fantastis dan layak ditonton untuk para pencinta film beragam genre, baik drama, olahraga, sejarah, hingga balapan. Ford v Ferrari (2019) juga lulus sensor untuk kategori semua umur, yang membuat film ini juga layak sebagai film keluarga. Ford v Ferrari (2019) tentu menjadi alternatif yang tak boleh dilewatkan, khususnya dalam menikmati akhir pekan di bioskop.
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar