Ahad 17 Nov 2019 15:22 WIB

Ratusan Orang Terancam Buta Akibat Bentrokan di Chile

Di antara 200 warga tersebut, setidaknya 50 akan membutuhkan mata buatan.

Lebih dari 200 demonstran terancam buta karena peluru pelet yang ditembakkan polisi Chile semenjak aksi protes dimulai.
Foto: EPA-EFE/Orlando Barria
Lebih dari 200 demonstran terancam buta karena peluru pelet yang ditembakkan polisi Chile semenjak aksi protes dimulai.

REPUBLIKA.CO.ID, Lebih dari 200 demonstran terancam buta karena peluru pelet yang ditembakkan polisi Chile semenjak aksi protes dimulai.

Lembaga kesehatan utama Chile mengumumkan pada hari Selasa (12/11), bahwa lebih dari 200 warga telah kehilangan daya pengelihatannya, baik hanya sebagian atau secara total, karena ditembak oleh peluru pellet oleh polisi selama aksi protes di negara Amerika Selatan itu.

Baca Juga

Di antara 200 warga tersebut, setidaknya 50 akan membutuhkan mata buatan, kata Dr. Patricio Meza, wakil ketua Universitas Kedokteran Chile. “Ini artinya, para pasien tidak hanya kehilangan daya pengelihatan mereka, tapi juga bola mata mereka.”

Informasi tambahan dari lembaga kesehatan utama Chile menunjukkan, bahwa usia rata-rata korban adalah 30 tahun. Dalam kebanyakan kasus, luka-luka disebabkan oleh akibat masuknya peluru timah atau karet di mata mereka, demikian dikonfirmasi Universitas Kedokteran Chile.

“Kami sedang menghadapi sebuah krisis kesehatan, situasi kesehatan darurat yang terjadi karena dalam tiga minggu, ada jumlah kasus komplikasi mata tertinggi disini,“ lanjut Meza. “Polisi menembak dengan sudut 90 derajat, ini artinya tepat di depan muka.”

Korban anak-anak muda

Carlos Vivanco (18) adalah salah satu korban yang ditembak di mata dan wajahnya, demikian dilansir kantor berita AFP. Vivanco tertembak ketika berdemonstrasi di sekitar lingkungan rumahnya tiga minggu yang lalu, ketika Presiden Sebastian Pinera memerintahkan agar tentara juga turun ke jalan.

Ia mengatakan ikut serta dalam aksi demonstrasi untuk turut memperjuangkan kesetaraan sosial yang lebih baik. Ketika lari untuk menghindari polisi, ia terkena tembakan di mata kirinya dan di wajahnya, dekat mata kanan. Sekarang ia memakai penutup mata hitam.

“Memang terlihat jelas apa saja yang bisa mereka lakukan, tetapi saya tidak menyangka mereka diizinkan untuk menembak seperti itu, seperti tukang jagal,” katanya. “Mereka ingin menyakiti saya, membuat saya malu, menyesal dan takut. Tapi mereka mendapatkan efek sebaliknya. Saya lebih marah ketimbang sakit dan saya punya lebih banyak kebencian daripada rasa malu, terhadap semua yang ada di luar sana dan menembaki warga.”

Cesar Callozo (35) tertembak di matanya ketika sedang bermain drum dengan rekan-rekan musisi di Plaza Italia, di pusat kota Santiago. “Suasananya awalnya menyenangkan. Tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang mengenai mata saya dan saya terjatuh,” katanya ketika sedang menunggu pemeriksaan mata di Rumah Sakit Salvador di Santiago.

“Rasanya sakit. Saya menggeliat di tanah sedikit. Lalu rasa sakitnya berkurang dan wajah saya mati rasa. Saya berdiri dan berteriak, bahwa mereka tidak akan bisa mengalahkan saya,” kata Callozo.

Dimulai dari aksi protes mahasiswa

Lebih dari 20 orang tewas dan 2500 luka-luka sejak aksi protes di Chile dimulai pada tanggal 18 Oktober. Ini berawal dari aksi protes mahasiswa karena naiknya harga tiket kereta bawah tanah.

Tetapi aksi demonstrasi ini telah mejadi gerakan yang jauh lebih besar dan lebih luas, dengan daftar tuntutan panjang sehubungan dengan kesenjangan ekonomi yang semakin besar antara warga Chile yang kaya dan miskin. Warga menyerukan diadakannya reformasi dalam bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, sistem pensiun serta konstitusi negara.

Hari Jum'at (15/11) Kongres Nasional Chile mengumumkan akan mengadakan referendum untuk menggantikan konstitusi negara ini, yang masih berasal dari zaman diktator Augusto Pinochet. Referendum yang disetujui setelah diskusi berjam-jam antara pemerintah koalisi dan partai-partai oposisi direncanakan akan dilakukan bulan April 2020.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement