Ahad 17 Nov 2019 15:57 WIB

ICW Ungkap 264 Kasus Korupsi Dana Desa

Verifikasi data desa penting agar dana desa tak dikorupsi atau disalahgunakan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Darmayanti bersama tiga orang anak yang belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Dana Desa berada di pintu rumahnya di Desa Andobeu Jaya, Kecamatan Anggomoare, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/11/2019).
Foto: Antara/Jojon
Darmayanti bersama tiga orang anak yang belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Dana Desa berada di pintu rumahnya di Desa Andobeu Jaya, Kecamatan Anggomoare, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/11/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 252 kasus korupsi anggaran desa sepanjang 2015-2018. Jumlah tersebut diketahui rata-rata meningkat setiap tahunnya, dari 22 kasus pada 2015 dan 48 kasus pada 2016. Kemudian meningkat pada 2017 dan 2018 menjadi 98 dan 96 kasus.

"Permasalahan desa fiktif juga perlu ditindaklanjuti mengingat korupsi di desa semakin marak. ICW mencatat, sepanjang 2015-2018 terdapat sedikitnya 264 kasus korupsi anggaran desa. Jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun," ujar peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha, Ahad (17/11).

Baca Juga

Ia menjelaskan, modus-modus yang ditemukan di antaranya penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, penggelapan, penggelembungan anggaran, dan suap. Selain itu, berdasarkan catatan ICW, kepala desa yang terjerat kasus korupsi di desa semakin banyak.

ICW mencatat 15 kepala desa melakukan tindakan korupsi pada 2015. Kemudian meningkat menjadi 61 kepala desa pada 2016, 66 kepala desa pada 2017, dan 89 kepala desa pada 2018.

Jika dijumlahkan, terdapat sedikitnya 231 kepala desa terjaring kasus korupsi, akibatnya negara merugi Rp 107,7 miliar sepanjang 2015-2018.

Egi memaparkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga turut menemukan masalah dalam penyaluran dana desa. Berdasarkan audit BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2018, ditemukan bahwa penyaluran dana desa oleh pemerintah tidak berdasarkan data yang mutakhir.

Ia meminta kementerian dan lembaga yang berwenang harus segera turun tangan memeriksa secara langsung dugaan desa fiktif. Pihak itu di antaranya seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BPK, hingga aparat penegak hukum.

Menurut Egi, langkah pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya mencakup desa-desa terindikasi fiktif yang namanya kadung tersebar di publik luas. Dalam hal pendataan, semestinya Kemendagri dan Kemendes PDTT bertanggung jawab.

"Verifikasi perihal data desa penting untuk dilakukan agar dana desa yang tersalurkan tak salah sasaran atau disalahgunakan. Masalah pendataan desa yang tak akurat di pemerintah daerah harusnya bisa diatasi dengan pengawasan, pembinaan, dan sinergi antar instansi," jelas dia.

Selain itu, lanjut dia, Kemenkeu harus konsisten dengan pernyataannya untuk memperketat mekanisme pencairan dana desa. Apabila ditemukan penyelewengan terkait penyaluran dana desa, Kemenkeu harus bertindak tegas dengan menghentikan kucuran dana.

Namun, sanksi diberikan tidak hanya kepada desa yang menyeleweng, tetapi sanksi lain juga patut diberikan kepada aparat pemerintah di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Egi mengatakan, BPK harus serius dalam melakukan audit terhadap dugaan penyelewengan tersebut.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement