REPUBLIKA.CO.ID, SANTIAGO -- Presiden Cile Sebastian Pinera bersumpah akan mempidanakan pasukan keamanan yang menggunakan kekuatan berlebihan dan melanggar hak-hak pengunjuk rasa, Ahad (17/11). Selama berminggu-minggu kerusuhan kekerasan atas kebijakan ekonomi dan ketidakadilan sosial telah menewaskan lebih dari 20 orang.
Jaksa penuntut umum di Cile sedang menyelidiki lebih dari 1.000 kasus dugaan pelanggaran, mulai dari penyiksaan hingga kekerasan seksual dilakukan oleh polisi dan militer. Muncul kekhawatiran kasus tersebut akan diabaikan dan pelaku tidak akan terjerat hukum.
"Tidak akan ada impunitas," kata Pinera merujuk pada istilah keadaan tidak dapat dipidana.
Pinera mengatakan, pemerintah tetap memegang teguh komitmen dan tindakan pencegahan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk dalam protes. Dia pun mengakui, ada beberapa kasus perintah itu dilanggar dengan menggunakan kekuatan berlebihan sehingga terjadi pelanggaran dan kejahatan.
Protes telah mengguncang Santiago selama satu bulan. Protes tersebut menjadi krisis terbesar yang melanda negara Amerika Selatan itu sejak demokrasi pada 1990. Kerusuhan ini berdampak pada ekonomi, mendorong prakiraan yang semakin suram untuk pertumbuhan ekonomi dan menambah pengangguran.
Presiden Cile Sebastian Pinera.
Pemerintah Pinera berjanji membentuk reformasi untuk memadamkan tuntutan pengunjuk rasa dari menaikkan upah minimum hingga dana pensiun. Anggota parlemen Cile juga mengumumkan kesepakatan mengadakan referendum pada April untuk mengganti konstitusi era kediktatoran negara itu, Jumat.
Pinera memuji kesepakatan itu dalam pidatonya dari istana presiden La Moneda, Ahad. "Warga kami sekarang akan memiliki kata terakhir sehubungan dengan konstitusi baru, yang pertama disusun dalam demokrasi," kata Pinera.
Pasar keuangan merayakan pengumuman yang dibuat parlemen. Bursa saham Cile kembali membukukan kenaikan harian terbesar dalam 11 tahun. Peso melesat terhadap dolar setelah anjlok ke level terendah dalam sejarah.