REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Berdasarkan survei bank sentral Jepang, hampir seperlima rumah tangga di Negeri Sakura itu sudah menggunakan uang elektronik untuk keperluan-keperluan kecil. Rasio ini naik dari survei tahun lalu dan menandakan adanya perubahan budaya penggunaan uang elektronik.
Survei yang dirilis Senin (18/11) dilakukan antara bulan Juni sampai Juli. Hasilnya 18,5 persen rumah tangga mengatakan mereka menggunakan uang elektronik untuk membeli aplikasi telepon pintar dan pembayaran debit.
Penggunaan uang elektronik dalam belanja saat jalan-jalan sebesar 1.000 yen atau kurang naik 15,4 persen. Sekitar 40 persen rumah tangga bujang baik laki-laki maupun perempuan di usia 20-an sampai 30-an rasio penggunaan uang elektronik lebih tinggi lagi yaitu 35,6 persen.
Hal ini menunjukkan upaya pemerintah uang membatasi penggunaan uang tunai berhasil. Setidaknya untuk generasi muda. Tapi uang tunai masih menjadi 'juaranya'.
Mentalitas penggunaan uang tunai masih besar. Survei ini menunjukkan sebesar 84 persen orang masih menggunakan uang kertas atau koin untuk keperluan kecil.
Dalam survei itu disebutkan sekitar 48,5 persen rumah tangga masih menggunakan uang tunai untuk keperluan sebesar 10.000 yen sampai 50.000 yen. Sementara uang elektronik yang sebesar 3,4 persen.
Rendahnya angka kejahatan, tingkat suku bunga yang sangat rendah serta besarnya jaringan ATM membuat rakyat Jepang memilih membawa uang tunai. Hal ini membuat rakyat Jepang tidak memiliki banyak alasan untuk beralih ke uang elektronik.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mendorong orang Jepang untuk pindah ke uang non-tunai. Agar toko-toko dapat melakukan otomatisasi perkiraan perjualan dan memotong beban biaya ATM.
Baru-baru ini pembeli didorong untuk pindah dari uang tunai ke uang elektronik. Setelah pemerintah memperkenalkan program pengembalian pajak untuk mengurangi beban naiknya pajak penjualan yang dimulai pada 1 Oktober lalu.