REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi pembiayaan utang sampai dengan 31 Oktober 2019 sudah mencapai Rp 384,5 triliun atau 107 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Angka ini tumbuh 14,2 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp 336,8 triliun.
Pembiayaan utang itu merupakan dari pembiayaan anggaran yang sampai dengan Oktober 2019 tercatat Rp 373,4 triliun atau sudah 126,1 persen terhadap APBN 2019. Nilai tersebut mengalami pertumbuhan 15,6 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, Rp 323,1 triliun.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, pertumbuhan pembiayaan anggaran tersebut dilakukan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan belanja dan penerimaan sepanjang 2019. "Agar APBN tetap bisa menjalankan belanja negara seperti yang sudah dilaksanakan, tapi dengan tetap mengedepankan efisiensi anggaran," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin (18/11).
Suahasil menuturkan, pertumbuhan pembiayaan anggaran dapat menggambarkan pelebaran defisit APBN yang sudah dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu, yaitu dari 1,84 persen terhadap PDB menjadi 2 hingga 2,2 persen terhadap PDB. Pertumbuhan juga dilakukan agar pemerintah tetap dapat bersiap-siap, terutama dalam menghadapi situasi global yang kini masih dalam kondisi tidak pasti.
Dalam melakukan pinjaman, Suahasil menjelaskan, pemerintah merujuk pada dua sumber, yakni lembaga multilateral dan pasar. Keduanya digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN yang terus disiagakan. "Kalau kita butuhkan, harus kita ambil supaya belanja negara bisa tetap kita keluarkan dengan tetap efisien," ucapnya.
Dari total pembiayaan utang yang ada, sebanyak Rp 401,7 triliun di antaranya bersumber dari surat berharga negara (neto). Nilai tersebut tumbuh 17 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, Rp 343,2 triliun. Kenaikan ini merupakan bagian dari strategi front loading dalam memanfaatkan kondusifnya situasi pasar keuangan pada semester pertama 2019 guna mengantisipasi risiko global yang makin meningkat ke depan.
Pertumbuhan lebih tinggi terjadi pada pinjaman (neto) yang juga merupakan bagian dari pembiayaan utang. Pertumbuhannya mencapai 168,6 persen, dari Rp 6,4 triliun pada periode Januari-Oktober 2018 menjadi Rp 17,2 triliun pada periode yang sama di tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tantangan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih besar. Tapi, ia optimistis, Indonesia tetap dapat menanganinya. Terpenting, masih ada elemen dari dalam negeri yang memiliki ketahanan dan menunjukkan tren positif, terutama pada oktober.
"Sehingga, kita akan melihat dampaknya dari negative spill over dari global ini dapat dinetralisir," ucapnya.
Tren positif yang dimaksudkan Sri adalah pertumbuhan penerimaan di beberapa jenis pajak. Salah satunya pada Pajak Penghasilan (PPh) 21 atau pajak dari tenaga kerja yang tumbuh 10,42 persen pada Oktober. Kondisi ini membaik dibandingkan pada periode ketiga 2019 yang tumbuh negatif 0,82 persen. Pertumbuhan ini disebabkan adanya pembayaran bonus oleh beberapa wajib pajak (WP) dominan.
Tren positif lain juga ditunjukkan oleh PPh badan. Pada Oktober 2019, jenis pajak ini tumbuh 8,54 persen sepanjang Oktober, kontras dengan kondisi kuartal ketiga yang kontraksi 12,86 persen. Pertumbuhan ini sebagai dampak penurunan restitusi yang minus 27,41 persen dan peningkatan setoran masa sektor jasa keuangan (29,91 persen).