REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menilai bahwa sikap intoleran muncul akibat tidak terbiasa berpikir reflektif. Orang intoleran tidak memahami bahwa kemajemukan adalah kekayaan bangsa Indonesia.
"Biasanya, orang yang wawasannya tidak luas dan tidak biasa berpikir reflektif, itu mudah terkena penyakit intoleran," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono, di Jakarta, Senin.
Hal tersebut disampaikannya saat Pembekalan Materi Pendidikan dan Pelatihan Pembinaan Ideologi Pancasila Bagi Penceramah, Pengajar, dan Pemerhati, di Hotel Borobudur, Jakarta. Menurut Hariyono, kelompok intoleran adalah mereka yang tidak menghargai atau respek dengan sesuatu yang berbeda dengan dirinya atau keyakinannya.
Untuk membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, menurut Hariyono, perlu melihat kondisi riil bangsa Indonesia yang secara geografis pun berbeda, dari Aceh sampai Papua.
"Kondisi flora dan fauna juga sudah berbeda, manusianya juga berbeda. Kalau ini, kita perlakukan sama, tidak bisa," katanya.
Artinya, kata Hariyono, orang yang intoleran sama saja bertentangan dengan sunnatullah yang sejak awal menakdirkan perbedaan karena dengan perbedaan itulah sebagai ajang saling belajar. Ia mengatakan, justru dari perbedaan itulah kita bisa respek bisa saling belajar dengan orang yang berbeda, kelompok yang berbeda dengan tim kita.
"Itu dibutuhkan pendewasaan," katanya.
Sikap saling menghormati dan menghargai, menurut Hariyono, bisa ditanamkan melalui festival-festival budaya yang selama ini kerap digelar komunitas-komunitas di daerah. Hariyono mencontohkan komunitas-komunitas kampung yang selama ini telah melakukan gerakan gotong-royong sehingga imunitas, daya tahan, dan kualitas kebangsaan semakin kuat.
"Problem riil yang ada di masyarakat kita di kampung-kampung itu kan bukan yang turun dari langit. Tetapi, problem yang muncul dalam kehidupan sehari-hari sehingga cara menghadapinya, ya, dengan aktivitas keseharian kita," katanya.
Di dalam proses harian itulah, menurut Hariyono, orang-orang tidak menanyakan perbedaan agama, melainkan bersama-sama dan bergotong-royong menyelesaikan masalah yang mereka hadapi bersama.