REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hubungan antara Islam dan negara selalu menjadi tema menarik dalam berbagai diskusi. Tak terkecuali bagi tokoh Masyumi Muhammad Natsir. Pemikiran Natsir terkait agama dan negara sebagaimana tertuang dalam artikel berjudul "Persatuan Agama dan Negara", sebagaimana diterbitkan dalam Panji Islam awal 1940-an.
Tulisan tersebut merupakan bantahan atas pandangan Sukarno di media yang sama tentang hubungan agama dan negara.
Natsir tetap konsisten dengan pandangan 'persatuan negara dan agama'. Natsir punya alasan, bahwa untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam diperlukan dukungan kekuatan politik atau kekuasaan, dan kekuatan politik yang paling efektif untuk itu adalah negara yang berasaskan Islam. Hanya orang Islam saja duduk di kekuasaan, bagi Natsir, tidak cukup.
Sejarah memang mencatat, dalam kekuasaan kaum Kemalis, secara sistematis Islam di Turki ditindas dan dipinggirkan. Turki, menurut Natsir, memang telah merdeka! ''Akan tetapi tidaklah ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki yang merdeka itu, walaupun yang memegang kekuasaan adalah putera-putera Turki yang mengaku beragama Islam. Tidak ada kemerdekaan bagi Islam dalam Turki Merdeka, meskipun orang sembahyang di masjid tidak dihentikan,'' tambahnya.
Menurut Natsir, itu terjadi karena yang memegang kekuasaan di Turki bukan orang yang Islam dalam semangat dan Islam dalam filsafat hidupnya. Kenyataannya, bukan Islam sejati yang kemudian hidup di Turki, seperti dijanjikan Kemal, tapi tergantinya tradisi-tradisi Islam dengan tradisi Barat. Sekolah-sekolah agama (madrasah) dibubarkan dan diganti sekolah umum. Minuman keras dan dansa-dansi merebak di kalangan Kemalis.