REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keluarga enam tersangka kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka menulis surat terbuka kepada Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis. Surat itu terkait adanya indikasi diskriminasi pada saat melakukan kunjungan ke rumah tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
"Melalui surat terbuka ini kami menyampaikan protes kami atas perlakuan diskriminatif terhadap akses kunjungan keluarga para tahanan politik," ujar adik salah satu tersangka Arina Elopere, Nalina Lokbere di Jakarta, Selasa (19/11).
Keenam tersangka yang ditahan adalah Dano Tabuni, Charles Cossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ketua Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta Ginting dan Arina Elopere. Adapun pihak keluarga yang membacakan surat terbuka tersebut adalah Lucia Fransisca (keluarga Surya Anta), Nalina Lokbere (adik Arina Elopere), Voni Kogoya (tunangan Isay Wenda), Chika Tua (istri Dano Tabuni), dan Satika Kossaya (adik Charles Kossay).
Dalam surat terbuka disebutkan setidaknya terdapat dua kali tindakan diskriminasi yang terjadi saat keluarga melakukan kunjungan ke rumah tahanan. Peristiwa pertama terjadi pada 25 Oktober 2019, di mana terdapat tembakan asap yang mengarah ke ruang kunjungan saat keluarga tengah membesuk. Tembakan peluru asap "salah sasaran" itu diketahui berasal dari pihak kepolisian yang sedang berlatih di Mako Brimob.
Pihak keluarga mengaku bahwa tembakan asap "salah sasaran" tersebut terjadi berkali-kali dan nyaris mengenai pihak keluarga dan para tahanan.
"Kami meminta pihak kepolisian agar lebih profesional dan menggunakan jarak yang aman untuk berlatih sehingga tidak mengintimidasi, apalagi mencelakai para tahanan dan keluarga," ujar Laura Fransisca.
Peristiwa diskriminasi kedua terjadi pada Jumat, 15 November 2019. Saat itu keluarga mendapat informasi dari Provost bahwa kunjungan pada tanggal tersebut ditiadakan lantaran bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Brimob, sekaligus penyelenggaraan rapat pertemuan Kapolda seluruh Indonesia.
Menurut Voni Kogoya, informasi tersebut menimbulkan kekecewaan bagi keluarga, mengingat hari kunjungan hanya terdapat dua kali dalam seminggu, yakni Selasa dan Jumat. Kekecewaan keluarga bertambah setelah diperoleh informasi bahwa pada tanggal tersebut, Forum Kerjasama DPR dan DPR RI asal daerah pemilihan Papua dan Papua Barat menemui para tahanan di Mako Brimob.
Padahal, kata Voni, pihak kepolisian jelas-jelas menegaskan bahwa pada hari tersebut waktu kunjungan ditiadakan. "Kami sangat menyayangkan peristiwa ini, tidak ada istilah lain yang bisa kami gunakan selain diskriminasi," ujar Voni.
Pihak keluarga mengatakan surat terbuka tersebut dibuat selain sebagai bentuk protes perlakuan diskriminasi atas akses kunjungan, juga sebagai bentuk koreksi terhadap institusi kepolisian agar lebih profesional, akuntabel dan mengedepankan aspek HAM dan imparsialitas dalam menjalankan tugas.
Sidang praperadilan
Kuasa hukum enam tersangka kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka, Tigor Hutapea mendesak Polda Metro Jaya selaku tergugat memenuhi panggilan dalam sidang praperadilan kliennya pada 25 November mendatang. Pihak Polda Metro Jaya pada sidang praperadilan sebelumnya, Senin (11/11) tidak hadir sehingga persidangan terpaksa ditunda.
"Kami akan tetap mengikuti proses prapradilan tanggal 25 November, kami harap kepolisian hadir. Dia harus bertindak profesional untuk hadir di tanggal 25 itu, agar bisa memberikan klarifikasi-klarifikasi atas temuan-temuan dan permasalahan yang terjadi," ujar Tigor di Jakarta, Selasa.
Menurut Tigor, ketidakhadiran pihak Polda Metro Jaya dalam sidang praperadilan seolah-olah menunjukkan bahwa aparat penegak hukum itu menghindari upaya evaluasi terhadap penanganan kasus enam tersangka yang dinilai banyak kejanggalan. Dia berharap pihak Polda Metro Jaya dapat bersikap profesional dengan memenuhi panggilan praperadilan untuk membuktikan apakah tindakan yang dilakukan dalam memproses enam tersangka telah sesuai dengan aturan atau tidak.
"Kalau mereka tidak hadir berarti menunjukkan mereka tidak serius terhadap proses hukum yang dihadapi. Artinya, ketika proses hukum enam tahanan politik itu berjalan, kita merasa didiskriminasi dalam proses itu. Tapi ada proses di Undang-Undang namanya prapradilan. seharusnya polisi juga menghormati itu," ujar Tigor
Sebelumnya, aktivis Papua, Surya Anta dan kawan-kawan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/10), terkait penetapan tersangka atas keenam orang tersebut oleh Polda Metro Jaya (PMJ). Gugatan praperadilan tersebut diajukan Surya Anta dan kawan-kawan melalui kuasa hukumnya, Okky Wiratama dan tim dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
"Adapun alasan kami mengajukan praperadilan sebelumnya klien kami telah ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan makar pada aksi 28 Agustus lalu di Istana Negara," kata Okky saat ditemui usai mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Selatan.
Okky mengatakan Surya Anta dan teman-temannya ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada 30 dan 31 Agustus 2019. Ia menjelaskan, alasan gugatan selain karena penetapan status tersangka tidak sah, banyak prosedur lainnya yang juga tidak sah yakni penggeladahan tidak sah karena tanpa memiliki surat izin dari pengadilan negeri setempat, tanpa disaksikan oleh dua orang saksi yakni RT dan RW setempat, serta penyitaan yang tidak sah.
"Yang dilakukan pihak termohon (PMJ), terhadap klien kami diduga melakukan perampasan bukan penyitaan," kata Okky.
Okky bersama lima kuasa hukum lainnya mendaftarkan gugatan sekitar pukul 11.02 WIB di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 133/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL.