REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat akan dievaluasi. Pilkada langsung dianggap memiliki mudharat yang lebih besar dibanding manfaatnya. Di antaranya, biaya politik yang sangat tinggi, hingga kepala daerah rawan korupsi. Namun tidak semua politikus setuju dengan dikembalikannya sistem Pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Politikus Partai Nasdem Saan Mustofa mengaku sepakat bahwa Pilkada langsung perlu dievaluasi. Namun jika evaluasi yang dimaksud harus mengembalikan pilkada langsung ke DPRD, menurut Mustofa hal itu sebagai sebuah kemunduran dalam berdemokrasi. "Itu sebuah kemunduran. Ini sudah berjalan berkali-kali, belasan kali di zaman orde baru," ujar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/11).
Kendati demikian, evaluasi terhadap Pilkada harus dilakukan, agar ke depannya pilkada semakin baik dan berkualitas. Dengan harapan, melalui Pilkada yang berkualitas lahirlah pemimpin-pemimpin atau kepala daerah yang berkualitas pula.
"Misalnya kalau menganggap Pilkada langsung terlalu mahal, kita lihat biaya politik yang paling mahal itu ada dimana," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI tersebut.
Selain itu, sistem Pilkada langsung adalah buah dari Reformasi. Proses-proses politik yang semula terjadi oligarki, korporatis dan sebagainya direformasi, termasuk di dalamnya Pilkada. Maka jika kembalikan ke awal, padahal sebelumnya sudah dievaluasi karena banyak kesalahan itu jelas langkah mundur. Bahkan tidak menutup kemungkinan melalui DPRD justru lebih mahal.
"Nanti jangan-jangan akan menjadi lebih mahal. Karena sudah diketahui siapa saja orang yang akan disasarnya. Kalau misalnya DPRD-nya di sebuah kabupaten ada 50, mau menang berapa?" terang Mustofa.