Jumat 22 Nov 2019 01:16 WIB

Cerita Haru Napi Asal Papua Berubah Pascamasuk Lapas Sragen

Orang tua napi asal Papua melihat putranya berubah usai masuk Lapas Sragen

Rep: Joglosemar/ Red: Joglosemar
 Jonas Constantin (22) napi kasus narkoba titipan asal Papua yang menjalani pengobatan dan merasakan perubahan selama dua pekan di Lapas Sragen. Foto/Wardoyo
Jonas Constantin (22) napi kasus narkoba titipan asal Papua yang menjalani pengobatan dan merasakan perubahan selama dua pekan di Lapas Sragen. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM- Tak selamanya penjara identik dengan cerita menyedihkan dan menyeramkan. Di balik tembok penjara, ternyata juga ada kisah yang penuh dengan hikmah.

Seperti yang dialami oleh keluarga asal Sentani, Jayapura, Papua, Imanuel (45) – Vany (40). Pasutri asal Bumi Cendrawasih itu tak henti-hentinya mengucap syukur anaknya yang terjerat kasus narkoba, kini seolah sudah mendapatkan jalannya menuju kebaikan. Cerita kelam putra sulung mereka, Jonas Constantin (22), yang terjerembab kasus narkoba di Papua, seolah mulai mendapatkan penerangan.

Semua itu didapat sejak Jonas dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Sragen sejak 5 November 2019 lalu. Meski sempat memicu kekecewaan ketika tahu hendak direkomendasi dititipkan dari Papua ke Sragen, kini mereka mulai merasakan perubahan besar pada diri Jonas.

“Dia putra sulung kami. Kemarin kena cobaan terjerat  kasus ganja. Divonis 4 tahun 1 bulan. Sebelumnya ditahan di Lapas Doyo, Sentani, Jayapura dan sudah berjalan 1 tahun 8 bulan. Sejak 5 November kemarin dititipkan ke Lapas Sragen untuk menjalani pengobatan,” ujar Imanuel kepada Joglosemarnews.com.

Imanuel mengaku tak pernah membayangkan jalan kebaikan putranya itu harus ditempuh sangat jauh dari Papua ke Sragen. Ia menceritakan semua bermula ketika putranya divonis mengalami retak tulang ekor belakang dan harus dioperasi.

Karena di Papua tak ada rumah sakit yang memadai alatnya, pihak Lapas Doyo Papua dan Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen Pas) pun menerbitkan surat rekomendasi agar Jonas dirujuk ke RS Ortopedi Solo.

Surat itu seketika membuat Imanuel berkecamuk. Bayangan jauhnya perjalanan dan besarnya biaya Papua-Solo membuatnya sempat protes dan kecewa terhadap surat Dirjen itu.

Belum lagi, nasib putranya yang harus melanjutkan masa hukuman dengan dititipkan ke Lapas Sragen, membuatnya makin ketakutan.

“Apalagi saya dengar Lapas Sragen dipimpin orang kita (asal Papua). Sempat saya berfikir, kalau orang Jawa yang santun saja sampai dipimpin orang Papua yang keras, pasti lebih kacau lagi di dalamnya. Saya nggak bisa membayangkan nasib anak saya nanti,” tuturnya.

Di tengah kegalauan, Imanuel pun terpaksa tetap mengantar putranya ke Sragen demi bisa operasi tulang ekor. Dia pun dititipkan ke Lapas Sragen.

Serasa Dapat Mukjizat

Namun ternyata bayangan mengerikan itu berubah total setelah dua pekan putranya berada di Lapas Sragen.

Ia melihat perubahan besar dari semangat dan perilaku putranya meski baru dua pekan membaur dengan napi di Lapas Sragen.

Ia serasa mendapat mukjizat melihat perubahan besar putranya.

“Saya lihat dia jauh beda. Dia mengaku betah di dalam karena pelayanannya bagus, teman napi ramah, petugasnya juga baik- baik. Dia bilang beda jauh di Lapas Papua katanya sering dibentak-bentak. Yang bikin saya kaget, biasanya kalau di Papua dia saya ajak makan keluar, selalu nambah kadang sampai 3 4 piring. Kemarin saya ajak makan keluar cuma satu piring. Saya tanya dia kenapa, katanya di dalam (Lapas Sragen) makanannya enak dan dimanusiawikan. Lalu soal obat juga sangat diperhatikan. Makanya ibunya yang awalnya nggak rela, akhirnya juga mendukung untuk tetap di sini,” terang Imanuel.

Selain itu, ia juga melihat perubahan besar pada sikap sulungnya itu. Jika sebelumnya berperangai keras dan kasar, semenjak di Sragen berubah jadi santun.

Atas perubahan itulah, ia mengaku bersyukur dan berterimakasih pada semua pihak yang telah menuntun putranya menuju lebih baik.

“Terimakasih pada warga Sragen, sudah menyambut baik, pegawai Lapas, teman napi dan Kalapas yang semua memberi layanan dan mengajarkan budaya santun pada anak saya. Terimakasih sekali pada Bu Dirjen, kami merasa hutang budi ke Beliau. Saya nggak nyangka jika surat rekomendasi yang dulu saya protes, ternyata justru jadi surat mukjizat bagi anak saya,” tukasnya.

Saking betahnya, Imanuel mengatakan jika putranya minta ijin untuk dipindahkan di Lapas Sragen sampai masa tahanannya berakhir. Ia bahkan mengancam akan kabur jika permintaannya untuk dipindahkan ke Lapas Sragen tak dipenuhi.

Tak hanya putranya, Imanuel sendiri merasakan perbedaan besar ketika masuk ke Lapas Sragen. Selain suasananya yang asri dan jauh dari menyeramkan, keramahan petugas dan kemudahan prosedur pelayanan, membuatnya makin betah dan seakan lupa dengan Papua.

“Saya salut karena merasakan sendiri. Sepertu bumi dan langit kalau melihat Lapas di Papua dan di Sragen. Karenanya saya melihat Lapas Sragen ini sangat bagus untuk percontohan. Nggak hanya bagi Lapas di Papua, tapi kalau perlu dicontoh Lapas-lapas yang ada di daerah lain. Harusnya Lapas ya begini, di dalam dibina yang baik sehingga keluar jadi orang yang baik kembali,” terangnya.

Pria yang berprofesi pengasuh panti Asuhan Kanaan di Sentani itu menambahkan saat ini dirinya lebih tenang menghadapi pengobatan putranya. Selama dua pekan di Sragen, dia dua kali seminggu mengantar putranya untuk terapi di RS Ortopedi Solo.

Sejak tiba di Sragen, Imanuel dan istrinya menyewa rumah di belakang Lapas agar bisa dekat jika jadwal mengantar terapi putranya ke Solo.

“Harapan kami nanti sakitnya bisa sembuh dan dia makin baik. Kata dokter kalau terapinya belum membaik, nanti akan dioperasi 25 Februari 2020. Ini nanti kami akan balik ke Papua dan datang lagi 25 Februari tahun depan. Di sini Lapas juga membantu kendaraan operasional yang ngantar terapi ke Solo. Makanya kami sangat terbantu, karena naik Grab sekali jalan Rp 300.000. Kami nggak masalah, biar uang habis, penting anak jadi baik. Karena di Papua, anak sulung itu ibarat mahkota,” tandasnya.

Kalapas Sragen, Yosef Benyamin Yembise mengatakan apa yang dilakukan Lapas terhadap Jonas itu pada prinsipnya adalah bagian dari pelayanan yang selama ini diberikan pada semua warga binaan.

Sejak awal mengemban tugas di Lapas Sragen, dirinya memang selalu menekankan harus ada perubahan lebih baik dari semua lini pelayanan, petugas dan semua kondisi di Lapas agar para penghuni bisa makin baik.

“Kalau soal permohonan pindah, nanti bisa karena pertimbangan untuk operasi. Apalagi kan pasca operasi masih butuh pemulihan. Nggak apa-apa, kami siap menerima. Mudah-mudahan dengan di sini kerasan, dia nanti waktu selesai menjalani hukuman, pulang ke papua bisa menjadi lebih baik,” tandas Kalapas kelahiran Papua itu.

Tak heran perubahan besar yang ada di Lapas Sragen itulah yang mengantar Lapas Sragen kini menuju penilaian tingkat nasional Zona Integritas WBK-WBBM dari Kementerian PAN-RB. Wardoyo

The post Cerita Haru Napi Asal Papua Berubah Total Usai Masuk Lapas Sragen. Menolak Pulang ke Papua, Ortu Trenyuh Merasa Hutang Budi ke Warga Sragen dan Bu Dirjen  appeared first on Joglosemar News.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement