REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ujian yang didatangkan oleh Allah SWT beragam bentuknya, salah satunya adalah sakit. Setiap penyakit yang diberikan oleh Sang Pencipta sudah ada obatnya. Rasulullah SAW menyebutkan, jika sakit itu diobati maka akan sembuh dengan izin Allah SWT. Dalam HR Bukhari, Rasulullah bersabda, "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya."
Salah satu ikhtiar yang bisa dilakukan oleh seorang umat ketika sakit adalah dengan berobat kepada dokter. Lantas, bagaimana hukum seorang Muslimah yang hendak berobat? Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyebut laki-laki boleh mengobati perempuan dan sebaliknya jika dalam keadaan darurat. Bahkan, jika dalam keadaan terpaksa, dokter lakilaki dibolehkan melihat aurat perempuan yang menjadi pasiennya.
Ruba'I binti Mu'awwidz bin Afra meriwayatkan hal yang pernah dialaminya. "Kami ikut berperang bersama Rasulullah dan bertugas melayani dan memberi minum tentara serta mengantarkan jenazah ke Kota Madinah." Keterangan ini dijadikan dasar praktik pengobatan yang melibatkan dokter dan pasien yang berlawanan jenis.
Syekh Shalih al-Fauzan pernah berbicara perihal hukum seorang Muslimah berobat kepada nonmahram. Ia berkata, seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak, dan keahliannya. Dengan syarat, tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, dan bila tidak segera, penyakit itu akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya.
Dalam masalah ini, ada perkara yang harus diperhatikan, yakni dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dokter juga adalah Muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang Muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali disertai oleh salah satu mahramnya.
Berdasarkan hukum idealnya, memang seorang Muslimah berobat ke dokter wanita. Hal ini berkaitan dengan hukum menjaga aurat yang harus dijaga seorang mukmin. Dalam al-Fatâwa al-Muta'alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, Syekh Bin Baz mengatakan, seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan.
Syekh Bin Baz memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Ketika Allah SWT telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya serta benar-benar memperhatikan masalah ini dan tidak menyepelekannya. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.
Syekh Muhammmad bin Shalih al- Utsaimin berpendapat, untuk menangani penyakit wanita Muslimah lebih baik ke dokter wanita beragama non- Muslim dibandingkan kepada laki-laki. Dalam Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, ia menyebut bahwa menyingkap aurat lelaki kepada wanita atau aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan tidak masalah selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah serta tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama Nasrani dan amanah tetap lebih utama daripada ke dokter Muslim meskipun lelaki karena aspek persamaan.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam al- Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra menjelaskan, Muslim dibolehkan mengobati orang kafir meskipun kafir harbi sebagaimana dibolehkan bersedekah kepada mereka. Hal itu didasarkan pada perkataan Rasulullah SAW bah wa setiap kebaikan memiliki balasan. Sebaliknya, Muslim dibolehkan berobat kepada orang kafir dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu mengobati penyakitnya dan orang yang mengobatinya dapat dipercaya serta tidak akan berbuat jahat. Ibnu Hajar membolehkan Muslim mengobati non-Muslim secara mutlak.
Sementara, Muslim yang berobat kepada non-Muslim dibolehkan bila tidak ada dokter Muslim dan bisa dipercaya. Persyaratan ini dibuat dengan alasan kehati-hatian. Kalau memang dokter non-Muslim tersebut baik dan sudah berpengalaman dalam mengobati banyak orang serta tidak ada masalah selama dokter tersebut menjalankan pekerjaannya maka hal ini boleh.