Rabu 20 Nov 2019 19:00 WIB

Kementerian ESDM Kaji Sanksi Kewajiban DMO Batu Bara

Sebanyak 34 perusahaan pertambangan batu bara belum memenuhi kewajiban DMO.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Tambang batu bara
Foto: Andika Wahyu/Antara
Tambang batu bara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi sanksi terkait kewajiban alokasi 25 persen kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) di 2020 mendatang. Bentuk sanksi yang dikenakan tak lagi berupa penyesuaian produksi.

Sanksi tersebut sedang dikaji bersama dengan pelaku usaha. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan sanksi penyesuaian produksi di 2019 faktanya sulit diterapkan.

Baca Juga

Menurutnya, sanksi tersebut berdampak pada pengurangan tenaga kerja, penerimaan negara dan pendapatan daerah serta dampak sosial lainnya. "Kita cari formula yang baru. Mungkin tahun depan beda sanksinya. Ini sudah disampaikan perusahaan apakah sanksi berupa denda. Ini usulan dari perusahaan," kata Bambang, Rabu (20/11).

Sanksi penyesuaian produksi sudah diterapkan pada tahun ini. Tercatat sebanyak 34 perusahaan yang belum memenuhi DMO. Pasalnya dari 121 juta ton target DMO di 2018, hanya tercapai 115 juta ton.

Perusahaan batu bara yang terkena pemangkasan produksi itu mayoritas berada di Kalimantan Timur. Pemangkasan produksi itu menimbulkan dampak negatif yang membuat Gubernur Kaltim Isran Noor mengadu ke Presiden Joko Widodo.

Bambang menerangkan sanksi saja yang mengalami perubahan. Sedangkan kewajiban 25 persen DMO tetap diberlakukan. Dia menegaskan kewajiban itu guna menjamin pasokan batu bara bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Dalam beberapa waktu ke depan proyek PLTU program 35.000 MW segera beroperasi. Adapun kebutuhan batu bara PLTU bisa mencapai 200 juta ton per tahun.

"Ini menjaga pertumbuhan energi coal power plant yang naik terus," ujarnya.

Lebih lanjut Bambang menerangkan harga batu bara untuk pembangkit listrik pun tetap dipatok di 2020 mendatang. Harga patokan batu bara itu segera berakhir pada 31 Desember 2019 nanti.

Dia menyebut harga patokan itu agar menjaga tarif listrik tetap terjangkau bagi masyarakat. Hanya saja dia enggan memastikan besaran harga patokan itu 70 dolar AS per ton alias sama yang diberlakukan sejak Maret 2018 kemarin.

Menurutnya besaran harga patokan masih dikaji. "Harga khusus ini untuk PLN yang memang untuk rakyat. Kalau tidak ada harga khusus, subsidi listrik bisa naik," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement